Minggu, 17 Februari 2013

Fiksi Kehidupan 2 (lanjutan)

Bagian ke-2 dari 4 bagian.



Keagungan Cinta


Tiga pekan sebelum kedatangan si kecil, Indara, –yakni ketika paginya Yuni dan ibunya memberitahukan tawaran untuk adopsi anak–, malam hari seperti biasa di kamar makan, keluarga Watik Cianjur mengobrol berbagai hal berkaitan dengan rencana kedatangan anak Yuni.
“Bagaimana Tik? Kamu akan punya adik. Senang, kan?” tanya ayah Watik memulai.
“Iya. Saya senang, Pak,” jawab Watik tanpa memandang ayahnya, melainkan tetap ke piringnya.
“Biarpun itu anak Mbak Yuni, kamu harus menganggapnya adik kandung sendiri, Tik!” sambung ibunya.
“Aneh ya? Kemenakan kok menjadi adik?” celetuk Watik spontan.
“Namanya saja adopsi. Anak siapa saja, bahkan bukan kerabatnya bisa menjadi anak… bisa menjadi adik.. atau bisa saja menjadi cucu,” jelas ayahnya.
“Jadi nanti Mbak Yuni bagaimana, ya?”
“Maksudnya?” tanya ibunya ingin tahu arah pertanyaan Watik.
“Mbak Yuni kan ibunya. Jadi kalau datang ke sini.. bagaimana?” lanjut Watik sambil memandang ayah dan ibunya berganti-ganti.
“Ya.. tentu saja ia akan datang bukan sebagai ibu, melainkan sebagai kakak sepupu. Seperti hubunganmu dengan Yuni, saudara sepupu,” jawab ayahnya.
“Wah, bagaimana nanti kalau anak itu sudah besar? Lama-lama pasti tahu bahwa Ibu bukan ibu kandungnya, Bapak bukan ayah kandungnya dan aku bukan kakak kandungnya..” kata Watik terus meluncurkan masalah.
“Itu…” kata ayahnya berhenti sejenak. Sepertinya memikirkan sesuatu dan bersamaan dengan itu ibunya memandangnya dengan kening berkerut. Watik sedikit heran atas reaksi yang terasa janggal dari kedua orang tuanya itu.
“Itu tidak soal… tidak soal!” kata ayahnya kemudian. “Bahkan, kelak kalau ia sudah dewasa memang harus diberitahu tentang perkara yang sesungguhnya. Menurut saya, kalau ia sudah dewasa ia akan bisa memahami kenyataan itu.”
“Wah, nanti bisa repot nih.. pada hal kan ibu mengajar? Siapa yang akan merawat? Bapak juga kerja, saya… sekolah,” kata Watik beralih ke perihal lain dan itu sangat membuat senang ayahnya, juga ibunya.
“Nah… untuk itu, tenang Tik. Makanya saya mengajak bicara malam ini. Kita akan minta bantuan seorang baby sister. Dialah yang akan mengasuh bayi selama kita bekerja,” sambung ayahnya dengan suara lega.
Selesai ayahnya bicara, Watik memandang ibunya yang langsung mengangguk dengan tersenyum.
“Mengapa tidak dari dulu kita punya pembantu rumah tangga seperti keluarga lainnya, Bu?” Lagi-lagi Watik bertanya. [Entahlah, karena ia pintar atau sebaliknya?].
“Tik.. hal itu bukannya sudah pernah ibu jelaskan? Kita tidak mempunyai pembantu, supaya kita tetap bisa mandiri. Pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bisa kita kerjakan sendiri tidak harus dikerjakan orang lain,” jawab ibunya [Oh, ternyata karena Watik lupa. Memang, siapa sih yang tidak pernah lupa? Ada pepatah kuno begini: "orang hidup itu menggendong lupa". Jadi mustahil binti mustahal, kalau orang belum pernah lupa. Malah, kalau tidak bisa lupa, malah menjadi soal besar! Lupa, nampaknya boleh-boleh saja, asalkan tidak keterlaluan]
“Benar Tik, kata ibumu. Dengan tidak ada pembantu, kita masih bisa memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah. Mandiri! Itu prinsipnya!” sambung ayahnya menegaskan penjelasan ibunya.
“Jadi… menurut Bapak, keluarga yang anak-anaknya sudah besar dan mempunyai pembantu, keluarga itu tidak mandiri?” tanya Watik sambil teringat keluarga teman-temannya yang mempunyai pembantu rumah tangga bahkan ada yang lebih dari satu.
Gini, Tik! Ini harus jelas supaya kamu tidak salah paham, supaya kamu tidak menilai secara sembarangan. Tentang keluarga lain, kita jangan mengukur kemandiriannya dengan ukuran keluarga kita. Untuk keluarga kita, karena keluarga kecil, lebih baik kalau tidak ada pembantu karena kita bisa menangani pekerjaan rumah tangga tanpa kesulitan. Sementara itu, mungkin keluarga lain repot sekali kalau harus mengurusi tetek-bengek pekerjaan rumah, lalu mereka memanggil pembantu. Jadi, saya tidak mengatakan bahwa keluarga yang mempunyai pembantu itu tidak baik atau tidak mandiri. Setiap keluarga keadaannya berbeda-beda, Tik! Pun pula memiliki pertimbangan yang berbeda-beda. Kita jangan menghakimi!”
Begitu ayahnya berhenti bicara, karena terlihat dari sikap duduknya, Watik akan bertanya lagi, ibunya memukul-mukul piring yang sudah kosong-melompong di depannya dengan sendok. Mata Watik dan ayahnya seketika terarah pada ibu Watik, yang lalu berkata dengan tersenyum, “masalah sudah melenceng jauh. Kita bicara tentang baby sister yang akan membantu untuk mengasuh bayi kita, OK?”
OK!” jawab Watik dan ayahnya hampir bersamaan dan menyadari keterlanturannya. Watik tersenyum-geli melihat cara ibunya menghentikan pembicaraan yang kebablasan. Mirip moderator diskusi!
“Watik bisa mencari informasi tentang baby sister?” tanya ayahnya kemudian.
“Mengapa harus saya, Pak? Bapak dan Ibu?” tanya Watik terheran-heran.
“Tentu saja bukan karena saya dan ibumu tidak bisa mencari. Tetapi supaya kamu latihan!” sambung ayahnya.
“Mmm.. bagaimana ya.. jangan-jangan…” kata-kata Watik terhenti dan jari telunjuk tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja.
“Jangan-jangan, apa?” tanya ibunya.
“Ah, Bapak atau ibu sajalah yang cari! Nanti kalau saya yang cari malah bisa kacau. Saya tidak bisa pilih dengan baik.”
“Tidak! Tidak akan kacau! Pokoknya kami bersepakat, Watiklah yang mencari baby sister! Kami percaya!” dukung dan tegas ibunya yang diangguki oleh ayahnya. Mereka memang sengaja mengasah rasa tanggungjawab anaknya.
“Kalau Bapak dan Ibu tidak mau, ya.. terpaksa saya. Kasihan kan nanti kalau bayi itu tidak ada yang ngasuh! Masa iya, anak harus kerja keras, sedangkan….,” kata Watik sambil menggosok matanya dengan tangan kanannya.
“Dunia ini memang keras, Nak!” gurau ibunya sambil tertawa pada anaknya.
“Bagus. Bapak sangat senang,” sahut ayahnya.
“Tapi.. bagaimana caranya?” kata Watik kemudian.
“Terserah kamu!” sahut ibunya seolah-olah tidak mau tahu.
“Ah, gini saja! Saya akan tanya teman-teman yang punya pembantu rumah tangga,” sergah Watik menemukan gagasan.
“Pokoknya, yang menurutmu baik dan bisa. Sudah, ayo kita doa dulu! Kalau bicara terus, kita tidak akan pergi dari kamar makan,” tukas ayahnya.
Sementara mereka berdoa, secara tidak disadari Watik berguman dalam hati, “tega amat!”
*************************
Malamnya, di pembaringan mata Watik kethap-kethip tidak kunjung tidur. [Pembaca budiman, barangkali Anda tahu terjemahan yang tepat dari istilah "kethap-kethip"? Tolong! Pengarang bingung untuk menerjemahkannya]. Pikirannya melanglang ke soal tugas dari orang tuanya yang dirasanya keterlaluan. “Masa.. seorang anak disuruh mencari baby sister. Apakah mereka tidak kawatir, bahwa saya bisa salah pilih. Saya belum punya pengalaman. Benarlah kata ibu, dunia memang keras! Oh, ya.. mungkin besok saya bisa ke rumah Budi. Ia punya adik yang masih bayi dan ada baby sister-nya. Ya, saya bisa tanya ke situ. Ah, untung sudah liburan..” begitu salah satu cetusan pikirannya.
Ketika langlangan pikirannya tentang tugas mencari baby sister usai, dan baginya sudah bukan soal besar, sekonyong-konyong ia teringat pada reaksi janggal ayah dan ibunya ketika ia bertanya tentang kemungkinan anak Yuni bisa menjadi tahu tentang ibu kandungnya.
“Jangan-jangan….. ah, sepertinya tidak mungkin. Tapi, mengapa tadi bapak seperti tergagap bicaranya. Tidak langsung menjawab lagi. Ibu pun melihat ayah dengan wajah tampak terkejut. Jangan-jangan…”
Kemudian Watik teringat pada percakapannya dengan ibunya beberapa tahun sebelumnya, ketika ia baru saja menginjak bangku SMP.
“Bu.. mengapa saya tidak punya adik?” tanya Watik waktu itu.
“Ya, ibu sudah tidak bisa punya anak lagi,” jawab ibunya.
Kenapa Bu?”
“Karena sesudah Ibu melahirkan kamu, rahim Ibu diangkat.”
Kenapa rahim Ibu harus diangkat, dan diangkat ke mana?” tanya Watik lagi [Aaa.. sekarang ketahuan, ternyata dari dulu memang ia ingin selalu bertanya dan bertanya terus].
“Karena rahim Ibu terserang kanker. Itu yang biasa orang sebut, kanker rahim. Nah, jalan satu-satunya supaya sembuh total adalah rahimnya diangkat.”
“Diangkat ke mana,” tanya Watik mengulang.
“Maksudnya diangkat itu, dioperasi untuk diambil dan dibuang. Kalau tidak diambil, kanker yang menempel akan tetap di situ. Tujuannya agar penyakit kanker itu tidak menjalar ke seluruh tubuh, dan bisa menyebabkan kematian.”
“Lalu, Ibu tidak bisa mengandung lagi?”
“Ya, jelas tidak bisa. Bayi dikandung di rahim. Kalau rahimnya tidak ada, lalu mau dikandung di mana? Kamu ini lucu, Tik!”
Waktu itu, ia puas mendengar keterangan ibunya. Selama ini ia amat penasaran tentang dirinya yang tidak punya saudara, alias menjadi anak tunggal.
Ke masa yang lebih lampau lagi, Watik teringat pada percakapannya dengan temannya waktu masih di kelas tiga SD. Waktu itu sehabis sekolah, ia berjalan pulang bersama Nina, teman satu kelasnya.
“Hore! Saya anak kandung dari ibuku. Karena kata kakak saya, anak kandung akan mirip dengan ibunya atau ayahnya,” kata Nina yang tidak berujung pangkal.
“Kalau saya mirip dengan ibuku tidak?” tanya Watik polos.
“Ih, wajahmu tidak mirip dengan wajah ibumu!” sahut Nina asal-asalan. [Biasa! Anak kecil kan sering saling mengejek].
“Kulitnya?”
“Nah, itu lagi! Warna kulitmu dan ibumu berbeda. Ibumu coklat, kamu agak putih,” tambah Nina juga asal nyeplos.
“Kalau begitu, saya bukan anak kandung, dong!” sambung Watik.
“Benar. Kamu bukan anak kandung ibumu,” sahut Nina.
“Anak kandung itu apa sih, Nin?” tanya Watik yang waktu itu memang masih pilon.
“Ye.. anak kandung aja tidak tahu! Anak kandung itu anak asli.”
“Anak asli? Apa lagi itu?”
“Kakakku bilang, anak kandung atau anak asli itu adalah anak yang dilahirkan oleh ibu sendiri. Seperti saya ini,” kata Nina dengan menepuk dada dan perasaan bangga.
“Kalau begitu, saya bukan dilahirkan oleh ibu saya?” tanya Watik dengan perasaan cemas.
“Jelas bukan, karena tidak mirip dengan ibumu.”
“Ah, saya tidak percaya, Nin. Lalu siapa yang melahirkan saya? Ah, nanti saya akan tanya ibu saya,” jawab Watik yang tidak setuju dengan omongan Nina.
Sesampai di rumah, ia mencari foto ibunya dan langsung membandingkan foto dirinya dengan foto ibunya.
“Benar kata Nina. Wajahku tidak mirip dengan wajah ibu. Kalau begitu saya bukan anak kandung,” keluhnya dalam hati.
Ketika ibunya pulang dari mengajar, Watik tanya pada ibunya perihal yang ia ketahui dari Nina.
“Masa sih Watik bukan anak kandung Ibu? Kalau bukan anak kandung, anak siapa?” jawab ibunya meyakinkan.
“Tapi menurut Nina, wajah ibu dan wajahku tidak mirip,” keluh Watik.
“Yah, tentu saja beda. Ibu sudah tua dan Watik masih kecil. Nanti kalau sudah dewasa, Watik juga akan mirip Ibu,” jelas ibunya lagi masih dengan nada meyakinkan.
“Kalau begitu, Nina bohong, ya Bu?” tanya Watik sambil tertawa dan memandang ibunya.
“Iya, sayang,” jawab ibunya sambil membelai rambut Watik. Dengan lembut
Waktu itu, Watik percaya saja pada kata-kata ibunya.
Ketika kembali ke masa sekarang, sekonyong-konyong, seolah-olah ada yang menyuruh, Watik bangun dan bergegas ke ruang tengah. Ia mengambil album foto yang terletak di laci meja ruang tamu, dan membawanya ke kamar.
Dengan cermat, ia memilah-milah foto-foto ibunya dan dirinya. Lalu ia memutuskan mencari foto yang paling terang dan paling terakhir dari ibu dan dia sendiri. Dua lembar foto itu lalu ia taruh berdampingan di atas meja belajarnya. Dengan cermat ia mengamati detil-detil wajah ibunya dan dirinya sendiri, lalu membandingkan keduanya.
“Tidak mirip,” simpulnya dengan menarik nafas panjang.
Kemudian gagasan baru muncul dalam benaknya. Ia mencari foto ayahnya, dan dibuat hal yang sama seperti dengan foto ibunya.
“Tidak mirip juga,” simpulnya lagi dengan tarikan nafas lebih panjang.
Ia duduk termangu dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Ya, memang dari tidak miripnya wajah saja tidak menjamin anak kandung atau bukan. Tapi… terkejutnya bapak dan ibu tadi, sepertinya… ah.. jangan-jangan benar. Saya bukan anak kandung. Lalu saya, anak siapa? Jadi, bapak dan ibuku sekarang ini bukan orang tuaku yang sebenarnya. Huh.. betapa hidupku terlunta-lunta. Merana! Aku tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya. Mungkin aku seperti anak Mbak Yuni. Tidak tahu orang tua yang sesungguhnya. Kalau benar, bapak-ibuku sekarang ini bukan orang tua kandungku, aku… aku…tidak tahu mau bagaimana lagi… aku mau pergi saja. Aku mau mencari orang tuaku yang sebenarnya.”
Dengan badan lunglai, Watik pindah dan berbaring di tempat tidurnya, serta berusaha untuk tidur. Akan tetapi, sampai lama sekali ia tidak kunjung bisa tidur. Pikirannya berjumpalitan tak tentu arah. Pening!
“Tetapi, misalnya betul ayah dan ibuku yang sekarang ini bukan yang sesungguhnya, mengapa mereka sangat menyayangiku. Bahkan saya merasa, ayah dan ibuku lebih sayang, dari pada orang-orang tua lain terhadap anak-anaknya. Sehingga… tapi… ya tetap mungkin saja, kalau saya bukan anak kandungnya. Nah…tapi, iya, malah menjadi luar biasa! Kalau ternyata benar, saya bukan anak kandung mereka, sungguh besar cinta mereka padaku. Mereka telah mencintai anak yang bukan kandung secara luar biasa. Bukan darah dagingnya sendiri, tetapi diperlakukan sebagai darah dagingnya sendiri. Jadi….. untuk apa saya merasa terlunta-lunta? Untuk apa saya merasa terasing? Ya kan? Justru saya harus mengagumi ayah dan ibuku. Ya, sekarang aku tidak takut kalau memang benar aku bukan anak kandung! Tuhan, terimakasih!”
************************
Ketika Watik pergi ke rumah temannya untuk mencari informasi tentang baby sister, ayah dan ibunya menggunakan kesempatan itu untuk membicarakan sesuatu yang selama belasan tahun mereka tutup serapat mungkin. Tidak ada orang lain yang tahu, selain orang tua Yuni. Jadi, tidak mengherankan kalau Yuni pun memahami bahwa Watik adalah anak kandung paman dan bibinya.
“Bu.. kedatangan anak Yuni yang akan kita adopsi ini kemungkinan besar akan membangkitkan keingintahuan Watik tentang siapa dirinya sesungguhnya,” kata ayah Watik dengan nada cemas.
“Ya, memang saat ini belum waktunya untuk berterus-terang. Dulu kita punya angan-angan, ya paling tidak ketika ia sudah selesai kuliah. Atau kalau terpaksa sekali setelas lulus SMA,” kenang ibu Watik teringat saat-saat awal.
“Saya tidak begitu yakin. Kalau sekarang, apakah Watik siap menerima?” tanya ayah Watik dalam keraguan.
“Saya pun begitu, Pak,” sahut ibu Watik.
“Memang, kita sangat sulit menolak tawaran kakak. Dari pada anak Yuni jatuh ke orang lain, lebih baik kita yang mengasuhnya. Dan lebih dari itu, kita memang masih terpanggil untuk mengasuh anak lagi. Di telingaku masih terngiang-ngiang penjelasan romo dahulu. Ya, untuk biayanya sih kita tidak masalah, tapi… berkaitan dengan Watik ini, bagaimana Bu?”
“Atau begini saja Pak: kita tunggu reaksi Watik sesudah kedatangan anak Yuni. Kalau memang muncul reaksi yang membahayakan perkembangan hidupnya, ya mau tidak mau kita beritahukan saja. Kalau tampak tenang saja, berarti tidak ada masalah. Belum saatnya kita beritahukan.”
“Ehm… benar juga… saya sangat setuju dengan gagasan itu, Bu. Betul kita tunggu saja. Mudah-mudahan sajalah, ia belum mengendusnya. Mudah-mudahan saja ia tidak menangkap keterkejutan kita kemarin sore,” kata ayah Watik dengan gembira dan penuh harap. [Eh, ternyata perkiraaannya salah! Nyatanya, Watik sangat peka untuk menangkap kejanggalan reaksi mereka!]
********************
Semenjak kedatangan Indara, Watik berusaha bersikap dan bertingkah laku biasa saja di hadapan ayah dan ibunya. Perasaan sebelumnya yang sempat merasa terlempar, hilang bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran baru. Ia pun sangat mencintai Indara bagaikan adik kandungnya sendiri. Meskipun Nurlela, –baby sister hasil pencariannya-sudah selalu siap-sedia mengasuh Indara, sekali waktu Watik menggantikan tugas itu. “Biar nanti kalau saya punya anak, tidak bingung, Teh,” kata Watik berseloroh pada Nurlela yang usianya tidak terpaut jauh dengan dirinya.
Melihat itu semua, ayah dan ibu Watik, yakin seribu yakin, bahwa Watik tidak memikirkan suatupun berkaitan dengan dirinya. Mereka gembira, karena yang ditakutkan selama ini, tidak nyata, lebih ditimbulkan oleh perasaan cemas mereka.
**********************
Sekitar dua bulan sesudah kedatangan Indara, pada bulan-bulan awal kelas dua SMA-nya, di suatu malam minggu sesudah bersama ayah dan ibunya makan malam, tetapi masih duduk di meja makan, dan adiknya sudah ditidurkan oleh Nurlela, Watik memunculkan permintaan yang tidak terduga pada ayah dan ibunya.
“Mengapa bertanya begitu, Tik?” tanya ibunya dan terkejut tanpa dibuat-buat.
“Apa salahnya, Bu. Bukan berarti saya mau meninggalkan rumah ini atau bertindak hal lain yang tidak Bapak dan Ibu harapkan. Saya hanya ingin tahu, sebenarnya saya ini berasal dari mana, dan siapakah ibu saya, juga siapakah ayah saya. Itu saja permintaanku,” kata Watik pelan sambil memandang ayah dan ibunya berganti-ganti.
“Siapa yang membawa berita bohong itu, Tik?” tanya ayahnya yang sungguh tidak mempercayai permintaan Watik.
“Iya, siapa Tik, masa tega-teganya membuat ceritera yang membuat kamu bingung,” sambung ibunya karena Watik tak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Ia sadar, ini bukan pertama kalinya Watik mempermasalahkan hal yang sama.
“Tidak. Tidak ada seorang pun yang memberitahu saya,” jawab Watik dengan tenang. Ini sungguh di luar dugaan ayah dan ibunya. Mereka merasa Watik mengalami perkembangan mental yang tiba-tiba.
“Lalu?” tanya ayah dan ibunya bersamaan.
Feeling!” sahut Watik.
Feeling? Feeling siapa?” sahut ibunya juga sambil memandang Watik dengan amat tajam.
“Ah, Ibu! Ya tentu saja feeling saya, perasaan saya,” jawab Watik dengan tetap suara tenang, meskipun untuk menegaskan pada ibunya yang seolah-olah tidak segera menangkap maksudnya.
“Tik.. itu hanya perasaanmu saja. Perasaaan belum tentu sesuai dengan kenyataan. Jangan sangat terpengaruh oleh perasaan!” kata ayahnya berusaha mematahkan keyakinan Watik.
Watik tidak bersuara. Sambil menggigit-gigit bibir bawahnya, ia menggerakkan kepala, tanda ia tidak menerima begitu saja perkataan ayahnya.
“Apakah selama ini bapak dan ibumu ini kurang mencintaimu?’ tanya ibunya kemudian dan membuat Watik merasa menemukan peluang.
“Tidak, Bu. Bapak dan ibu sangat mencintaiku. Bahkan lebih dari orang-orang tua yang lain pada anak-anaknya. Cinta bapak dan ibuku padaku tak terkira..”
“Lalu?” tanya ayahnya yang sedikit menyesal karena memotong pembicaraan Watik. “Memberi teladan tidak baik,” pikirnya.
“Justeru karena cinta yang besar inilah yang membuat saya merasa bukan anak kandung. Dan juga jawaban-jawaban ibu dahulu ketika saya masih kecil bertanya tentang hal seperti ini… dan terakhir, kedatangan Indara.”
Ayah dan ibunya diam. Tak menemukan kata untuk menanggapi perkataan Watik yang bagi mereka menandakan perkembangan pencermatan dan pemahamannya yang demikian cepat. Sesungguhnya, cukup satu kata, dan selesailah sudah. Tetapi mereka masih tampak ragu.
“Kalau misalnya benar, Ini misalnya ya… misalnya Watik bukan anak kandung, bagaimana?” tanya ayahnya kemudian dengan suara lembut.
“Tidak masalah,” jawab Watik singkat dengan tetap tenang, dan sambil menduga bahwa tidak tersangkal lagi bahwa dirinya memang anak adopsi.
“Kalau tidak benar, bahwa Watik bukan anak kandung, yang berarti Watik anak kandung, bagaimana?” pancing ibunya pada hal yang sebaliknya.
“Tidak masalah juga,” jawab Watik lagi masih dengan tenang.
Ayah Watik tertegun. Ia mendapati anaknya begitu tenang, seolah-olah tidak cemas akan sesuatu yang bakal dihadapi. Namun, ia masih ragu untuk mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya. Ibu Watik pun juga terdiam. Ia menunggu suaminya untuk bicara.
Dengan diamnya kedua orang tuanya, Watik semakin yakin akan kesimpulan yang selama ini sudah dibuatnya berdasarkan rentetan kenangan peristiwa. Maka, untuk memancing orang tuanya bicara,Watik berkata, “Pak, Bu… Watik sudah besar. Sudah kelas dua SMA. Janganlah lagi dianggap sebagai anak kecil! Bapak dan Ibu tidak perlu cemas! Saya sudah siap untuk menghadapi kenyataan yang sebenarnya tentang diri saya. Katakanlah saja, kalau saya bukanlah anak kandung!”
Watik memandang kedua orang tuanya berganti-ganti. Ibunya menunduk untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Ia merasa malu, karena mungkin Watik akan mengira dirinya cengeng, tetapi sekaligus bangga terhadap Watik. Sementara itu, ayah Watik berulang kali menghela nafas, seperti bersiap bicara, tetapi tidak kunjung keluar.
Watik masih menunggu dengan tenang.
“Yah…Tik, tanpa bapakmu menjawab, kamu pun akhirnya sudah tahu sendiri. Kamu memang bukan anak kandung dari bapak dan ibumu ini,” kata ayahnya kemudian dan sedikit cemas menunggu reaksi Watik.
Mendengar itu, Watik menunduk dan memejamkan mata serta berseru dalam hati, “benarlah duagaanku!”.
“Watik?” seru ayahnya lembut.
Watik membuka matanya dan memandang ayahnya.
“Apakah kamu kecewa?” tanya ayahnya karena melihat Watik tabah mendengar berita itu.
“Pak, Bu… saya tidak kecewa. Sebaliknya.. saya sangat bangga pada Bapak dan Ibu. Saya bukan anak kandung… tetapi Bapak dan Ibu sangat mencintai saya…” Perkataan Watik terhenti karena tiba-tiba sudah terdengar ibunya menangis terisak-isak dan berlutut di sampingnya dan kedua tangannya merangkul-menggelayut pada bahunya.
“Anakku… ” seru ibunya di sela tangisnya. Mata Watik pun ikut berkaca-kaca, karena terharu oleh kasih ibunya.
Ayah Watik menyaksikan adegan itu dengan perasaan bahagia, terharu bercampur dengan bingung serta bangga. Ia bangga, Watik menunjukkan sikap yang dewasa. Menurutnya, hal itu melebihi usianya.
Tidak lama kemudian, ibu Watik sudah berhenti menangis, menghela rangkulannya dan kembali duduk ke kursinya.
“Pak, Bu.. sekarang saya ingin mendengar riwayat saya yang sebenarnya!” kata Watik kemudian.
“Apakah kamu berjanji untuk tidak kecewa?” tanya ayahnya yang merasa ragu kembali bila Watik diberitahu yang sebenarnya.
“Pak, saya siap Pak. Apapun yang Bapak ceriterakan akan saya dengar!” kata Watik dengan mantap.
“Baiklah..” kata ayahnya sesudah memandang istrinya.
Watik menyantaikan posisi duduknya, dam memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan.
“Beberapa tahun sebelum kamu lahir, tepatnya tahun 1977, kami, Bapakmu dan ibumu ini, merupakan pasangan pengantin baru yang bahagia. Tetapi, setelah setahun dan setahun lagi, kebahagiaan kami belum penuh. Kami belum mempunyai buah hati yang kami tunggu-tunggu.
Akhirnya kami berusaha dengan minta bantuan dokter-dokter ahli kandungan untuk memiliki keturunan. Tetapi, semuanya menegaskan bahwa kami tidak mungkin mempunyai keturunan. Alasannya jelas! Kondisi ibumu ini, infertile. Maksudnya, tidak subur atau mandul. Lebih tegasnya, tidak bisa mempunyai keturunan.
Sesudah mendengar itu, kami pun pasrah. Kemungkinan untuk mempunyai anak tertutup rapat. Hampir enam tahun kami berusaha ke sana-sini tanpa hasil.
Waktu itu, ibumu sempat cemas, jangan-jangan aku akan meninggalkannya, karena dari dirinya tidak mungkin lahir keturunan. Tetapi, saya tegaskan pada ibumu, bahwa tidak mungkin aku meninggalkan ibumu, gara-gara tidak mempunyai anak dari dia. Selain karena dalam kesepakatan nikah kami terucap janji suci untuk setia dalam untung maupun malang, –artinya: tidak dimungkinkan untuk bercerai–, juga karena memang aku sangat mencintai ibumu. Dalam keadaan apapun, karena sudah cinta, tetap tidak terpengaruh. Itulah kekuatan cinta. Cinta melampaui segala sesuatu.
Dalam kegalauan dan kesepian karena tidak memiliki anak, kami pun menghadap pastor untuk berkeluh-kesah.
“Ah.. kalian masih mungkin untuk punya anak!” begitu kata pastor yang rambutnya sudah banyak beruban kepada kami.
“Bagaimana caranya, Romo?” [Romo: salah satu sebutan untuk pastor] tanyaku kegirangan karena serasa lampu hidupku yang sebelumnya redup menjadi kembali menyala terang benderang.
“Adopsi!” jawab pastor itu singkat dan tegas.
Aku dan ibumu saling berpandangan, belum memahami jawaban pastor tua itu.
“Mungkin kalian merasa tidak bangga kalau tidak memiliki anak kandung, atau merasa malu pada orang-orang karena hanya mengurusi anak orang lain,” kata pastor itu kemudian karena kami masih diam saja. Nah, memang betul yang dikatakan oleh pastor itu. Entahlah, apakah ia memang punya indera ke delapan atau kesembilan, atau memang sekedar karang-karang. Yang jelas, memang dua hal itulah yang mengusik pikiran saya. Kalau ibumu, katanya tidak berpikir seperti itu.
“Iya, Romo,” jawab saya dengan jujur.
“Mengapa tidak bangga? Mengapa harus malu?” tanya pastor itu lalu menatap kami satu per satu.
Aku tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, tidak berani menjawab. Takut salah. Begitu juga ibumu.
“Begini, ya..” kata pastor terhenti sejenak karena batuk-batuk. “Kalau kalian sudah menikah enam tahun, tetapi tidak juga mempunyai keturunan, dan menurut dokter memang tidak mungkin, kita harus cermat: kurang lebih apa kehendak Tuhan di balik kenyataan yang kalian hadapi itu?”
Lagi-lagi aku tidak menjawab. Aku tidak tahu apakah pastor itu menghendaki jawabanku atau tidak.
“Apa jawabanmu?” ulang pastor itu seraya memandang saya. Oh, jelas! Ternyata pastor itu menghendaki saya untuk menjawab pertanyaannya.
“Menurut saya, kehendak Tuhan di balik kemalangan kami ini adalah agar kami menjadi tabah dan tawakal dalam menghadapi kemalangan ini, dan kami harus tetap seia-sekata,” jawabku dengan yakin.
“Ya, itu betul juga. Tapi selain itu? Yang lebih menjurus dan konkret, serta bisa menjawab persoalan!” kejar pastor itu.
Aku tidak menjawab, karena memang tidak tahu lagi. Ya, seingat saya waktu kursus persiapan perkawinan tidak pernah diajarkan apakah kehendak Tuhan ketika sebuah pasangan suami-istri tidak bisa mempunyai anak.
“Hayo, lihatlah kenyataan di sekitar kita!” ajak pastor kemudian dan berhenti sejenak.
Saya mengira pastor itu akan mengajak kami keluar dari kamar, maka aku pun bergerak siap berdiri. Ibumu pun mengikuti gerakanku.
“Mau ke mana?” tanya pastor itu.
Saya pun hanya bisa tersenyum-tersipu-malu dan kembali duduk dengan santai. Begitu juga ibumu.
“Maksud saya bukan mengajak untuk jalan-jalan keluar!” kata pastor itu sambil juga tertawa karena mungkin melihat ketololanku, lalu melanjutkan, “lihatlah kenyataan di sekeliling kita! Sekarang ini dan dari dulu, dan mungkin juga di masa yang akan datang, banyak anak terlantar karena tidak diurus oleh orang tuanya. Bahkan ada yang lebih menyedihkan lagi, ada bayi merah yang dibuang ke bak sampah. Ada lagi, jabang bayi ditidurkan di kardus ditaruh di depan rumah tetangga. Pokoknya, banyak manusia mungil, tak berdosa yang membutuhkan perhatian, tetapi tidak diberi perhatian.
Nah, sementara itu banyak pasangan suami-istri tidak bisa memiliki keturunan. Sudah berusaha dengan cara apa saja dan dalam waktu yang lama, tetapi tidak juga memiliki anak.
Jelaskan? Di satu pihak, banyak anak terbuang-buang, dan di pihak lain banyak pasangan suami istri amat merindukan anak. Sekarang lagi, apakah kehendak Tuhan dalam keadaan seperti itu?”
Pastor itu kembali menatap saya.
“Kehendak Tuhan adalah agar pasangan yang tidak bisa mempunyai anak mengasuh anak yang terbuang itu,” jawabku yakin benar.
“Nnnah.. itu…” seru pastor itu sambil menguraikan senyum puas kepadaku.
“Jadi, ngerti kan, maksud perkataanku bahwa kalian mungkin untuk memiliki anak?”
“Ya, Romo,” jawabku sambil mengangguk-angguk.
“Nah, bila kalian bisa berbuat seperti itu, harus bangga dan tidak usah malu. Mengapa bangga? Bangga karena bisa mencintai seorang anak yang bukan darah dagingnya, seperti mencintai anak sendiri. Apakah lebihnya mencintai anak kandung sendiri? Tidak ada! Sangat wajar, lumrah, biasa kalau orang tua mencintai anaknya sendiri. Bahkan seekor kucing pun akan berbuat demikian terhadap anak-anaknya. Tetapi kalau orang tua bisa mencintai anak yang bukan darah dagingnya, alias anak pungut, entah mungut dari mana saja, ha.. itu baru luar biasa! Bisa memahami dengan contoh yang terkesan kasar ini?”
Kami mengangguk-anggukkan kepala. Paham betul. Bukan hanya pura-pura supaya tidak malu di hadapan pastor.
“Kalian juga tidak perlu malu karena hanya mengasuh anak adopsi. Bukankah biarpun itu bukan anak kandung, anak itu juga tetap manusia. Ia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling luhur. Ia bukan kambing atau semut. Nah, kalau kalian mengasuh anak yang adalah semut, barulah malu. Malu dong! Masa, manusia memiliki anak yang berwujud semut. Tetapi, kalau yang kalian asuh adalah manusia seperti kita-kita ini, untuk apa malu? Ya, kan?”
Kami kembali menganggukkan kepala, tanda memahami.
“Jadi, kami harus mengadopsi?” tanyaku sesudah pastor itu tidak melanjutkan bicara.
“Pertanyaan itu lebih cocok kalau kamu tujukan pada dirimu sendi…ri..” kata pastor itu dengan perlahan tapi tegas, lalu mengembangkan senyum pada kami.
Baru saja, aku mau membuka mulut untuk berkata, pastor itu berseru, “ya, kan?”
“Ya, Romo,” jawabku sambil tertawa terpingkal-pingkal. Ibumu pun jadi tertawa berderai-derai. Pastor itu tertawa sampai terkekeh-kekeh.
Akhirnya, kami pun pulang dengan membawa peneguhan dari pastor tua yang sampai sekarang tak pernah bisa lekang dari ingatanku itu. Pastor itulah yang nantinya membaptis kamu. Sayang sekali, sekarang ia sudah tiada.
Sesudah perjumpaan dengan pastor itu, kami merencanakan untuk pergi ke Bandung. Sebelumnya, karena sering beurusan dengan dokter-dokter ahli kandungan di kota itu, kami menjadi tahu bahwa di beberapa rumah sakit kadangkala ada bayi yang tidak ada orang tuanya. Maksudnya, orang tuanya tidak mau mengurus, alias terlantar.
Tidak menjumpai banyak kesulitan, kami segera saja menemukan bayi semacam itu di sebuah rumah sakit. Bayi itu masih merah. Sesudah segala urusan administrasi beres, kami diperkenankan untuk membawa pulang dan mengasuh bayi itu. Tetapi, kami tidak berhasil mendapatkan informasi yang sangat jelas tentang asal-usul bayi itu. Menurut suster perawat yang mengurusnya, bayi itu diantar oleh seorang sopir dan kondektur bis kota. Mereka telah menemukan orok itu dalam sebuah kardus di salah satu jok di bagian tengah, ketika bis mereka sedang parkir di terminal Kebon Kelapa [Dahulu terminal barat kota Bandung belum dipindahkan ke Leuwipanjang].
Nah, tanpa memusingkan asal-usulnya, kami tetap senang. Akhirnya kami pun berhasil memiliki buah hati yang kami rindu-rindukan bertahun-tahun. Bayi itu kami urus dengan penuh kasih, bagaikan darah-daging kami sendiri. Bayi itu semakin lama semakin lucu dan membuat kami bangga. Dan memang, sampai saat ini ia membuat kami semakin bangga dan bahagia. Dan… jabang bayi itu adalah.. kamu, Retnowati!”
Ayahnya mengakhiri ceritera panjangnya dengan senyuman bangga sambil menatap Watik.
Watik juga tersenyum dan melihat ayah dan ibunya berganti-ganti.
“Jadi, saya adalah anak yang dibuang. Tetapi, Bapak dan Ibu telah mengambilnya,” kata Watik dengan tenang dan masih diwarnai senyuman.
“Ya.. Watik kecewa?” tanya ayahnya begitu berani karena menyaksikan ketenangan Watik.
“Tidak!” jawab Watik sambil menggelengkan kepala, “saya malah bahagia dan bangga seperti Bapak dan Ibu. Jika tidak ada Bapak dan Ibu, saya tidak tahu lagi..”
“Kami pun begitu… jika tidak ada Watik, kami pun tidak bisa sebahagia dan sebangga sekarang ini,” sambut ayahnya seraya dalam hati mengakui penerimaan diri Watik–yang untuk ukuran anak usia SMA-termasuk luar biasa.
“Ibu.. mengapa Ibu diam saja,” tanya Watik sambil menatap ibunya yang tampak tersentak mendengar pertanyaan itu.
“Ibu tidak bisa omong, karena saking bahagianya,” jawab ibunya sambil memejamkan mata dan mengembangkan senyum.
“Pak, Bu, terimakasih! Bapak dan Ibu memberi teladan. Saya pun akan memperlakukan anak Mbak Yuni sebagai adik kandung saya sendiri….” kata Watik jujur dari lubuk hatinya.
Lagi-lagi, ayah dan ibunya dibuat terkejut lalu bangga oleh pernyataan Watik.
*********************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musik