Selasa, 19 Februari 2013

Fiksi Kehidupan 1



Dipersembahkan untuk semua orang yang berkehendak baik untuk membangun dan mengembangkan kehidupan –anugerah Tuhan!
Syukur kepada Dia yang telah dan akan selalu menyelenggarakan kehidupan, dan terimakasih kepada semua sahabatku yang memberikan cinta sehingga lahirlah kisah sederhana ini!
Kesamaan nama, karakter dan peristiwa dalam kisah ini dengan kenyataan sehari-hari, adalah kebetulan belaka. Kisah ini hanyalah buah khayal penulis, dan sebagian gagasannya punbersifat subyektif, sehingga masih terbuka pada gagasan yang bernada lain.

bagian pertama dari empat bagian


I
Pada Mulanya Adalah Kehidupan



sore Yuni bertandang ke kamar Watik.
“Tik, saya mau omong-omong dengan kamu,” katanya sesudah duduk di ranjang Watik.
Watik yang sedang membaca di meja belajar, sepintas menoleh ke arah Yuni, lalu tersenyum keheranan sambil berseru,”Yun, tiap hari kita sudahomong-omong.”
“Ya, tapi yang saya maksud, omongan kali ini penting sekali,” kata Yuni pelan dengan wajah sendu.
“Ala, pakai penting-penting segala. Memangnya soal apa?” Watik bertanya sambil mengamati Yuni, dan sekonyong-konyong tertegun karena setelah diperhatikan sungguh-sungguh muka Yuni tampak sedih.
“Nanti saya katakan.. tapi jangan di sini, Tik,” kata Yuni semakin pelan.
“Sekarang saja! Saya sedang tidak sibuk. Sekedar baca-baca,” kata Watik yang mulai timbul rasa iba dan meletakkan bacaannya.
“Sekarang bisa?” seru Yuni.
“Ya,” jawab Watik sambil mengangguk.
“Tapi, jangan di sini!” tambah Yuni mengulang tentang tempatnya.
“Mengapa?” Watik menatap Yuni, dan terheran sekali lagi.
Yuni tidak menjawab.
Watik menduga bahwa Yuni sedang menghadapi masalah berat.
“Mau.. mau di mana?” tanya Watik pelan sambil berdiri dan menghampiri Yuni, lalu duduk di sampingnya.
“Tempat yang sepi…” jawab Yuni tanpa menatap Watik, menunduk seolah menghitung ubin.
“Mana ya..?” guman Watik. Otaknya berputar untuk mengingat tempat tertentu.
Setelah hening sejenak, Watik menawarkan suatu tempat, “kita ke candi Sambisari saja. Di sana sepi, mau?”
Yuni mengangguk tanpa menanyakan perihal tempat itu.
“Kalau begitu ayo siap-siap, mumpung masih jam empat,” kata Watik setelah sekilas melirik jam di dinding.
***************************************************
Dengan sepeda motor, Watik memboncengkan Yuni meluncur ke arah timur dari kota Yogyakarta. Dalam perjalanan, Yuni diam saja. Watik pun tidak mencoba untuk memancing bicara, karena mengetahui bahwa situasi Yuni sedang kalut.
Sekitar setengah jam kemudian, mereka sudah memasuki loket candi yang dijaga oleh dua petugas laki-laki. Watik mengeluarkan uang untuk membayarkan tiket yang disodorkan penjaga. Candi itu tampak sepi pengunjung.
“Kamu sering ke sini, Tik?” Yuni yang dari tadi diam, buka suara ketika mereka melangkah menuruni kompleks candi kecil yang terletak di bawah permukaan tanah sekitarnya itu. [Menurut ceritera, dan ini rasanya ada benarnya, candi ini terkubur oleh material letusan Gunung Merapi berabad-abad yang silam. Makanya, candi ini ditemukan secara kebetulan berpuluh tahun yang lalu, karena puncaknya kena mata bajak pak tani. Dikiranya, hanya batu biasa, eh, ternyata batu yang terpahat dan terukir. Pak tani itu lalu memberitahukan penemuan ke orang-orang lain, dan sampailah ke telinga Dinas Kepurbakalaan yang kemudian menggalinya dan mereka-ulang sampai menjadi candi Sambisari –sesuai dengan nama desa di situ. Akhirnya, pak tani itu kehilangan sawahnya. Salah sendiri, sawahnya dibuat di atas bangunan candi! Makanya, banyak orang di kawasan itu, kalau menemukan benda-benda yang diduga ada bau-bau purba-kala langsung saja dikubur kembali. Yang sudah lalu, biarlah berlalu, pikir mereka].
“Tidak sering. Tapi, sudah lebih dari dua kali. Saya suka karena suasananya tenang. Biasanya saya ke sini bersama Dewi. Lihat! Bagus, kan?” seru Watik sambil menunjuk ke candi terbesar dan tertinggi yang terletak di tengah, dan kemudian menoleh ke wajah Yuni.
“Ya… bagus… bagaimana dulu membangunnya, ya?” tanya Yuni yang betapa pun sudah mau bicara, masih juga wajahnya mengguratkan kesedihan.
Watik yang sudah pernah membaca sejarah candi itu di papan informasi dekat loket, menjelaskan secara sekilas. Sambil berbicara, Watik mengajak Yuni mengelilingi kompleks candi yang tidak luas itu.
“Duduk di sini saja, Yun!” ajak Watik ketika mereka sudah naik ke lantai candi utama. Watik mendahului duduk bersila di lantai batu yang tampak bersih. Yuni menyusul duduk, berhadapan dengan Watik.
Watik sengaja tidak berbicara dengan maksud memberi kesempatan Yuni untuk mengungkapkan persoalannya. Tapi Yuni pun diam dengan tatapan kosong ke arah relief-relief (gambar timbul pada batu candi) di sampingnya. Yang ada hanyalah keheningan sebuah candi yang usianya sudah berabad-abad itu. Watik bingung. “Apakah saya yang harus memulai, atau biarkan saja kapan ia memulai,” pikirnya.
Di luar dugaan Watik, suara isak tangis menusuk telinganya. Ia menatap Yuni yang tertunduk, sampai rambut sebahunya jatuh terurai dan menutupi seluruh wajahnya. Bukannya berbicara, Yuni malah menangis. Sejenak Watik merasakan keanehan. Yuni yang sehari-harinya selalu tegar dan lincah, sekarang terisak-isak dengan kepala tertunduk. Watik belum berbuat apa-apa. Ia terharu, dan matanya pun berkaca-kaca. Ia ikut bersedih. Namun ia menjaga supaya tidak ikut menangis.
“Yun..” bisik Watik yang terlebih dahulu menggeser duduknya sehingga semakin dekat dengan Yuni. Yuni tidak menjawab. Isak tangisnya semakin kentara dan semakin mengharukan.
“Biarlah ia menangis sepuasnya dulu,” pikir Watik sambil menggenggam kedua tangan Yuni untuk menyatakan bahwa dirinya ingin ikut merasakan penderitaan Yuni, meskipun ia belum tahu penyebab penderitaannya. Perlahan isak tangis Yuni melambat, dan akhirnya berhenti. Watik masih menggenggam jemari Yuni dan menunggu dengan sabar.
“Tik…” Akhirnya Yuni mengeluarkan suara dengan masih tertunduk. Watik menjawab dengan gerakan badan yang beringsut semakin mendekati Yuni. Yuni mengangkat kepala, dan tatapan langsung tertumbuk pada wajah Watik yang persis di depannya. Dengan bibir bergetar dan mata basah, Yuni berkata lirih, “Tik… maukah kamu merahasiakan semua yang akan aku katakan?”
“Tentu. Tenang saja Yun! Hanya kita berdua yang akan tahu,” jawab Watik dibuat selembut dan semeyakinkan mungkin, dan dalam hati bersorak karena Yuni sudah mau bicara.
“Tapi… saya malu Tik.” Yuni sejenak menunduk, lalu menatap Watik kembali.
“Tidak perlu malu. Kamu percaya sama saya kan?” Watik menggerak-gerakkan genggamannya.
“Iya.. Saya percaya..” kata Yuni dan terlihat berusaha menahan tangis.
“Maka dari itu, tidak perlu malu,” tegas Watik.
Sesudah diam sejenak dan menggigit bibirnya, Yuni berbicara lagi, “Tik… saya…. saya…” Yuni tak sanggup menyelesaikan perkataannya. Ia tertunduk. Watik masih menunggu, dan tidak mau berbuat apa-apa.
“Saya… hamil” kata Yuni kemudian dan masih tertunduk.
Sesungguhnya Watik amat terkejut. Tapi demi peneguhan Yuni, ia berusaha untuk tenang. Tetapi, ia bingung, karena tidak menemukan kata untuk menanggapi pernyataan Yuni yang di luar dugaannya itu.
“Saya menyesal… mengapa saya begitu mudah bergaul dengan laki-laki. Tik…. Saya harus bagaimana?” Yuni menatap Watik dengan mata sembab.
“Ya.. ya…” Watik menanggapi, tetapi kata-katanya seolah pada lari meninggalkan dirinya, sehingga tak satu kata pun menyusul.
“Si Diman bangsatlah yang menghamiliku. Sekarang ia kabur, entah ke mana…” jelas Yuni lebih lanjut karena Watik terdiam.
“Yuni sendiri terus mau bagaimana?” tanya Watik yang menemukan celah untuk bicara.
“Aborsi!” jawab Yuni singkat dan Watik lagi-lagi terkejut.
“Mungkin kamu bisa bantu saya Tik. Di mana saya bisa menggugurkan kandungan ini?” lanjut Yuni, karena Watik tidak kunjung bicara oleh keterkejutannya.
Watik belum menjawab juga. Ia tercenung. “Aborsi??… Bahaya nih… bisa-bisa saya terlibat dalam pembunuhan manusia tidak bersalah. Saya harus menghentikannya, tapi bagaimana?” pikirnya. Sekonyong-konyong ia ingat akan bacaan tentang kejahatan aborsi.
“Bagaimana Tik? Bisa, ya?” Sekarang Yunilah yang menggerak-gerakkan tangan Watik.
“Yun… mengapa harus aborsi?” tanya Watik pelan agar tidak menyinggung perasaan Yuni.
“Saya malu, Tik. Saya malu pada papa dan mama, juga teman-teman di kampus. Bayangkan jika papa dan mama tahu saya hamil, dan melahirkan? Pada hal saya anak tunggal. Papa dan mama pasti akan sangat terpukul. Tik… saya tidak tahan menghadapi situasi itu..” Yuni bicara sudah serasa orang yang bukan baru saja menangis. Ia melepaskan genggaman tangan Watik dan menyibakkan rambutnya yang dari tadi menempel di wajahnya karena basah oleh air mata.
“Iya Yun… saya bisa membayangkan kemungkinan itu. Tapi, ingat Yun… janin yang berada dalam rahimmu itu sudah manusia.”
“Tapi kan…. Ini hasil hubungan di luar pernikahan, Tik.” Yuni memberi alasan.
“Betapapun itu hasil dari hubungan seksual di luar pernikahan, dan betapapun kamu tidak mengehendakinya, janin itu tetap manusia,” Watik berkata dengan semakin melembutkan suaranya.
“Tapi,… kalau saya melahirkannya, mukaku akan kutaruh di mana Tik? Mukaku… mukaku ini? Lebih baik, aku mati saja dari pada menanggung malu.” Setelah berkata begitu, Yuni kembali terisak.
Watik sedikit menyesal. Penjelasannya telah membuat Yuni menangis kembali. Namun, bagaimanapun ia merasa bahwa ia harus mencegah tindakan aborsi itu. Menurutnya, aborsi adalah kejahatan besar, dan sedapat mungkin dicegah.
“Yun… saya bisa merasakan apa yang kamu alami saat ini,” kata Watik lembut sambil tangannya memegang bahu Yuni yang masih terisak.
“Bukankah ini bayiku. Aku bebas melakukan tindakan apa saja pada bayiku ini,” kata Yuni di sela isakannya dengan nada agak keras.
“Kebebasan!” seru Watik dalam hati. Watik berpikir keras untuk mencari cara yang tepat untuk menjelaskan tentang kejahatan aborsi pada Yuni yang sedang kalut itu.
“Saya punya kebebasan, Tik!” kata Yuni kembali seraya menatap Watik dengan mata yang masih sembab.
“Yun, coba bayangkanlah! Andai kata kamu waktu masih berupa janin digugurkan oleh mamamu, kamu tidak akan pernah ada.” Watik mengawali penjelasannya.
“Mengapa mama saya dahulu tidak menggugurkan saya saja? Saya malah senang jika saya tidak pernah dilahirkan ke dunia ini, dari pada dilahirkan dan akhirnya sekarang berada situasi yang sulit seperti sekarang ini,” kata Yuni yang sudah tidak terisak dan sedikit emosional.
“Aduh-duh… saya salah bidik… bisa semakin kacau ini,” keluh Watik dalam hati. Watik menyadari bahwa perkataannya malah membuat Yuni menarik kesimpulan yang picik. Watik berusaha agar Yuni beralih dari pemahaman yang naif itu.
“Yun… mamamu tidak menggugurkan kamu, karena mamamu amat mencintaimu. Ia berharap agar kamu hidup dan berbahagia. Bukan hanya berharap, namun mamamu juga berusaha sekuat tenaga merawatmu sejak bayi. Mamamu… tidak salah. Mamamu… amat mencintaimu,” jelas Watik dengan suara dibuat selembut mungkin.
“Ya… tentu mamaku mengasihiku. Tapi, itu sangat masuk akal. Mama mengandung aku ketika sudah menikah. Jadi, waktu melahirkan aku, mama tidak malu. Mama bahagia. Tetapi, kalau aku seperti sekarang ini? Aku belum menikah, dan masih kuliah… Betapa malunya aku! Masa depanku habis-bis!” Yuni berkata sambil sesekali menyeka matanya yang masih agak basah.
“Yun… kalau kamu sungguh menyadari dan merenungkan, apakah tindakan aborsi itu jalan yang terbaik?” tanya Watik yang bermaksud mengajak Yuni untuk berpikir secara jernih, karena melihat Yuni sudah bisa mengendalikan diri.
“Tentu saja bukan terbaik. Saya sadar, aborsi adalah tindakan yang dilarang agama. Berdosa! Tapi, dari pada saya malu… Apa lagi dengan berhubungan di luar nikah, saya sudah berdosa. Maka, biarlah saya berdosa lagi dengan melakukan aborsi. Biarlah saya berdosa besar!” kata Yuni seolah untuk dirinya saja. Dan entah, apakah ia sadar atas ucapannya itu.
“Yun, sekarang ini bukan soal berdosa atau tidak. Tetapi, bagaimana kita harus menghargai dan memelihara hidup manusia. Janin yang ada dalam perutmu itu hidup. Itu bukan barang mati. Kita harus merawatnya, mempertahankan supaya tetap hidup dan berkembang.”
“Jadi aborsi tidak berdosa?” tanya Yuni yang hanya terfokus pada pernyataan pertama Watik.
“Ya… tentu saja berdosa. Tetapi, saya bermaksud, janganlah kita selalu dihantui oleh dosa, rasa bersalah yang berlebihan. Dalam hal ini ada yang lebih penting, yaitu memelihara hidup, hidup seorang manusia. Inilah yang utama!”
“Saya belum pernah mengerti itu, Tik. Dari mana penjelasanmu itu?”
“Dari buku-buku yang saya beli,” jawab Watik merasa sedikit bangga.
“Coba jelaskan lagi, Tik!”
“Baik… Tindakan pengguguran bayi atau aborsi itu, tentu saja merupakan tindakan yang salah. Tadi, itu sudah saya katakan. Akan tetapi, kita tidak mau melakukan aborsi, pertama-tama bukan karena takut bersalah, melainkan karena kita memiliki tanggungjawab untuk memelihara kehidupan yang sudah dianugerahkan Tuhan. Dialah yang memberi hidup, dan Dia jugalah pemiliknya. Manusia tidak punya hak atas hidup matinya seorang manusia, termasuk sejak masih dalam kandungan. Yang punya hak hanyalah Tuhan sendiri, sebagai Sang Pencipta”
“Iya Tik. Saya mulai sedikit paham. Hidup manusia harus dihormati. O.. pantas saja membunuh orang itu hukumannya berat.” Yuni mencoba menjabarkan penjelasan Watik.
“Tepat! Nah, kalau membunuh orang dewasa saja hukumannya berat, apa lagi membunuh orang yang tidak berdaya.”
“Maksudnya?” kata Yuni yang gayanya nampak sudah biasa.
“Manusia dewasa bisa melawan, kan?” Watik memandang Yuni, lalu melanjutkan, “ia juga bisa menghindar dan berteriak minta pertolongan. Tetapi, anak-anak tidak demikian, apa lagi janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia tidak berdaya. Ia tidak bisa melawan. Tak bisa berbuat apa-apa.”
Karena Yuni diam, Watik melanjutkan penjelasannya, “justru janin amat membutuhkan perlindungan. Apa lagi janin itu tidak bersalah dan belum bisa berbuat salah. Salah apa dia, sehingga hidupnya kita hambat? Ia masih suci… masih putih-bersih, dan ia mempunyai hak untuk hidup.”
“Tapi Tik, bukankah banyak orang melakukan aborsi? Di Indonesia saja mungkin ribuan tiap tahunnya. Itu baru di Indonesia…” kata Yuni menyela.
“Meskipun aborsi banyak dilakukan, bukan berarti tindakan itu baik dan benar. Bandingkan! Di Indonesia juga ada banyak pembunuhan terhadap orang dewasa. Bukankah itu juga tetap salah? Iya kan?”
“Beda, Tik! Orang dewasa itu kan sudah manusia. Sedangkan kalau janin itu belum manusia,” sanggah Yuni.
“Ah, kalau begitu dari tadi ia belum menangkap,” pikir Watik dan kemudian berkata, “memang, ada yang mengatakan seperti itu. Tetapi, menurut saya, mengatakan janin belumlah manusia hanyalah silat lidah untuk membenarkan tindakan pengguguran janin. Yun… kalau kita berusaha menyadari, kapankan permulaan hidup manusia itu?” Watik berhenti sejenak lalu melanjutkan, “menurut saya, ketika terjadi pembuahanlah, hidup manusia dimulai. Ketika sel telur dari seorang perempuan dan sperma dari seorang laki-laki bertemu dan bersatu dalam rahim, terciptalah seorang manusia baru. Karena itu, janin sudah merupakan manusia, dan harus dilindungi.”
“Ya… saya paham Tik. Sejak pembuahan sudah ada manusia…”
“Benar, meskipun masih dalam bentuk amat kecil. Ia sudah manusia,” kata Watik karena Yuni berhenti bicara.
“Tapi Tik.. bukankah janin itu bergantung pada seorang perempuan yang mengandungnya? Jadi, perempuan itu bebas memperlakukan janin itu. Mau dilahirkan, atau mau digugurkan, terserah perempuan itu.”
“Yun… rasanya kesimpulan itu terlalu gegabah. Tidak ada seorang pun yang mampu mengadakan hidup. Bukankah hidup kita sendiri, bukan kita yang mengadakan? Apa lagi hidup orang lain, termasuk hidup si janin.”
“Saya tidak terlalu yakin. Menurut saya yang mengadakan hidup adalah laki-laki dan perempuan. Ketika mereka berhubungan seksual, sampai terjadi pembuahan, muncullah hidup. Yang menghidupkan bukan hanya satu orang, melainkan dua orang, yakni laki-laki dan perempuan. Dan perempuanlah yang paling berhak untuk memperlakukan apa saja pada si janin, sebab dialah yang mengandungnya.”
Sejenak Watik bingung, karena Yuni mempunyai pemahaman yang lain sama sekali dengan yang diyakininya dari bacaan-bacaannya. Setelah menarik nafas panjang, ia berkata, “saya tidak berani mengambil kesimpulan seperti itu. Yun… nyawa yang membuat kita hidup, secara persis saya sendiri tidak tahu. Namun, saya meyakini bahwa nyawa itu datang dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jadi menurut saya, tidak ada seorang pun yang berkuasa atas hidup dan matinya manusia. Yang berkuasa adalah Tuhan. Tuhan menganugerahkan hidup dengan perantaraan laki-laki dan perempuan, yang kemudian merawat dan melindunginya. Pada gilirannya, kita pun menjadi perantara hidup dari Tuhan itu untuk manusia-manusia berikutnya. Maka, perempuan seperti kita, mempunyai tugas mulia untuk merawat dan melindungi hidup manusia, secara khusus pada permulaan, ketika masih berupa janin yang tak berdaya.”
“Tik.. saya jadi bingung dan takut.”
Watik hanya memandang Yuni.
“Saya takut untuk menggugurkan kandungan. Tapi, saya bingung.. bagaimana selama saya mengandung, dan nanti bagaimana kalau anak ini lahir?” Sinar wajah Yuni berubah menjadi redup.
“Saya sangat memahami kebingunganmu, Yun.Tapi kamu mau menghargai dan melindungi hidup janin itu, kan?”
“Iya, tapi bagaimana caranya supaya saya tidak menanggung malu, di hadapan orang tua dan teman-teman?” Mata Yuni kembali berkaca-kaca.
“Yun…. Apakah sungguh-sungguh tidak mungkin memberitahukan hal ini pada papa dan mamamu?” kata Watik meluncurkan strategi.
“Sudah saya katakan dari tadi, Tik! Saya ini anak tunggal. Saya tidak berani menghadapi reaksi papa dan mama. Jangan! Saya tidak mau coba-coba. Dari pada harus memberitahu mereka, lebih baik saya mati,” jelas Yuni dengan tegas dan sepertinya hal itu sangat tidak mungkin.
Mendengar itu Watik sedikit tersentak.
“Ya, sudah Yun. Kalau memang itu amat berat, kita cari jalan lain lagi. Masih ada jalan lain. Tapi, tentu saja ada resikonya. Segala sesuatu yang kita ambil selalu akan ada resikonya,” kata Watik tenang dan memberi pengharapan.
“Bagaimana Tik?”
“Tapi, untuk sementara kamu harus berhenti kuliah dulu,”
Yuni menarik nafas dalam-dalam dan pandangannya tertuju ke arah bulan purnama di ufuk timur yang mulai menggantikan matahari.
“Ini mau tidak mau, Yun. Tadi kamu bilang, malu kalau sampai diketahui orang lain. Jika kamu tidak berhenti kuliah, tentu saja teman-teman akan mengetahui kalau kamu hamil. Tidak apa-apa Yun! Hanya sementara waktu…. Setelah melahirkan, kamu bisa kuliah lagi.” Watik bicara dengan penuh simpatik
“Ya… itu bisa saya terima… tapi, bagaimana dengan papa mamaku?”
“Untuk itu, kita usahakan semaksimal mungkin, orang tuamu tidak akan tahu,” kata Watik lagi-lagi memberi harapan, pada hal sebenarnya tentang hal itu ia agak bimbang.
“Bagaimana mungkin?” kata Yuni memandang Watik dengan nada tidak percaya.
“Orang tuamu di Jakarta kan?”
Yuni mengangguk, lalu menyibakkan rambutnya supaya tidak menutupi wajahnya.
“Berapa kali selama ini orang tuamu datang ke Yogya?”
“Sekali. Waktu aku masuk kuliah. Setelah itu tidak pernah lagi, sebab aku yang pulang ke Jakarta. Maksudmu apa?”
“Begini.. karena orang tuamu belum pernah menengok lagi, maka kemungkinan besar tidak akan tahu kalau kamu cuti kuliah. Dan selama cuti itu kita usahakan bahwa orang tuamu tidak akan datang ke Yogya untuk bertemu kamu.” Watik sebenarnya ragu atas spekulasi itu. Tapi, ia berniat meneguhkan Yuni, dan mencegah tindakan aborsi. Maka, meskipun serba tidak pasti, gagasan dan usul itu disampaikannya juga.
“Mmm… kalau mereka telepon?”
“ke HP-mu?”
“Ya.”
“Rasanya tidak soal. Kebetulan sekali di kost kita tidak ada telepon rumah.”
“Lalu, saya tinggal di mana?” Yuni mulai tertarik pada tawaran Watik, dan itu yang ditunggu-tunggu Watik.
“Mudah saja.. saya sudah mengetahui ada seorang ibu yang sering memangani masalah seperti yang kita hadapi sekarang. [Watik menekankan kata “kita”. Artinya, masalah itu menjadi masalah Yuni dan Watik]. Besok-besok saya tunjukkan tempatnya. Saya yakin, tidak akan ada orang lain yang tahu tentang kehamilanmu, kecuali saya dan ibu itu. OK?” Watik menatap Yuni dengan senyuman mengembang.
Yuni pun tersenyum pula dan berseru, “OK!”, meskipun dengan suara berat.
Watik kembali menggenggam tangan Yuni, sebagai ungkapan akan harapan kelancaran rencana yang akan segera dilaksanakan.
“Yun… ayo kita pulang! Sudah malam, jam berapa ini.. Yun lihat! Bulannya bagus sekali!” teriak Watik ketika melihat ke arah bulan purnama yang mulai mendaki langit.
“Ya… bagus!” sahut Yuni setelah mengarahkan pandangannya ke langit bagian timur yang tiada berawan secuil pun.
Mereka bergegas keluar dari kompleks candi yang semakin sunyi-senyap itu. Dua laki-laki penjaga loket –satu gendut, satu kurus—sudah tidak tampak batang hidungnya. Rupanya mereka sudah tidak tahan menunggu dua turis domestik yang masih di dalam candi. [Pembaca yang budiman, tunggu dulu! Ternyata ada pembicaraan dua tukang loket itu yang tidak terdengar oleh pengarang. Kurang lebih percakapannya begini: “Pak, bagaimana nih, sudah hampir gelap, mereka belum pulang,” kata si gendut. “Iya, tumben amat. Ada yang betah sampai jam segini. Ngapain, sih?” jawab si kurus tidak menyelesaikan soal. “Apakah perlu kita ingatkan supaya segera pergi?’ tanya si gendut lagi. “Tidak perlu. Toh, dua-duanya perempuan. Ayo kita tinggal saja. Tidak perlu kawatir!” jawab si kurus yang sekarang telah memecahkan persoalan. Mereka pun pulang. Di jalan, dalam boncengan motor si kurus, si gendut yang bertampang bloon itu masih merenungkan maksud jawaban si kurus: tidak perlu kawatir! Tidak perlu kawatir!].
**************************
Malamnya, Watik tidak kunjung bisa tidur. Peristiwa yang dialami Yuni membuat ia berpikir terus-menerus. Ia tergolek di tempat tidur dan merenung.
“Tidak percuma, aku memborong buku-buku.Ternyata itu sangat berguna. Coba aku tidak membaca, bagaimana aku akan menanggapi masalah Yuni? Bisa-bisa aku malah membantu Yuni untuk aborsi, karena aku tidak mampu menjelaskan duduk persoalannya, dan tidak mampu mencarikan jalan keluarnya. Langkah pertama, aku anggap berhasil. Tinggal mengatur langkah selanjutnya….”
Sampai tertidur kelelahan, Watik mereka-reka langkah-langkah selanjutnya.
************************
Dua hari kemudian, mereka pergi lagi ke candi Sambisari untuk membicarakan langkah-langkah praktis dan rahasia. Yuni menerima segala yang dibicarakan Watik. Baginya hanya satu, bisa melahirkan tanpa diketahui oleh orang lain.
**************************
Seminggu kemudian, dengan sepeda motornya Watik meluncur ke Yogya bagian selatan, tempat penampungan dan pendampingan perempuan yang hamil di luar nikah [Tempat semacam ini bukan bo’ong-bo’ongan, alias benar-benar ada. Kalau tidak percaya, cari aja sendiri, pasti suatu saat akan menemukannya].Sebelumnya ia sudah menelepon ibu yang mengelola tempat itu. Karena baru pertama kali, ia mengalami kesulitan untuk menemukan tempat yang memang jauh dari jalan raya itu. Tempat itu tidak diberi nama, sehingga sama dengan rumah-rumah sekitarnya. Belakangan ia baru mengetahui alasannya.
“Selamat siang!” sapa Watik pada seorang perempuan agak tua yang membukakan pintu untuk Watik.
“Selamat siang, Mbak! Mari, silahkan masuk!” sambut perempuan itu dengan ramah, pada hal Watik belum mengenalnya.
“Mau bertemu siapa?” tanya perempuan itu, ketika Watik sudah duduk di kursi.
“Saya ingin bertemu Ibu Santi,” jawab Watik sedikit malu, karena menduga-duga pikiran perempuan itu terhadap dirinya.
“Ada. Silahkan tunggu sebentar”
Lalu perempuan itu melangkah ke ruangan lain.
Tiba-tiba ia keluar lagi dan berkata, “o ya… minta maaf! Saya lupa bertanya. Nama Mbak, siapa?”
“Watik, Bu. Tadi saya sudah menelepon Bu Santi,” kata Watik seraya mencondongkan badannya ke depan.
“O, baik. Minta maaf, ya!” serunya sambil tertawa.
“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Watik, lalu kembali menyandarkan badannya pada sandaran kursi.
Perempuan itu kembali melangkah pergi.
Watik mengamati lukisan besar yang tertempel di dinding ruang tamu yang bercat hijau muda. Lukisan seorang ibu yang sedang menggendong bayi itu menarik perhatian Watik. Tak berkedip ia memandang detil-detil lukisan itu.
“Hallo… selamat siang! Mbak Watik, ya?” Santi, seorang perempuan setengah umur, dengan rambut tergelung rapi, datang dan menyapa Watik.
“Iya, Bu,” jawab Watik sambil berdiri dan mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami orang yang ingin ditemuinya itu.
“Mbak Watik tinggal di mana?” tanya Santi sesudah mereka duduk.
“Saya tinggal di Mrican, Bu!”
“Kuliah, ya?”
“Iya, Bu,” jawab Watik sambil mengangguk.
“Di fakultas apa?”
“Psikologi, Bu” jawab Watik sambil berkata dalam hati, “ramah betul ibu ini.”
“Ou… Psikologi!” seru Santi agak keras sambil tertawa, lalu melanjutkan, “wah, saya harus berhati-hati, nih! Berhadapan dengan psikolog..”
“Ah, Ibu.. saya orang bodoh,” jawab Watik sambil memainkan jemarinya.
“Masa iya? Kalau bodoh, mana mungkin bisa kuliah psikologi,” sahut Santi dengan tertawa renyah. Watik ikut tertawa.
“Mungkin ada yang bisa saya bantu, Mbak Watik?” tanya Santi kemudian setelah mereka berhenti tertawa.
Watik yang sedang mencari saat untuk menyampaikan maksud kedatangan ke situ, langsung menyambut, “terimakasih, Ibu…. Ibu, saya mempunyai teman yang hamil di luar nikah, tapi…….” Watik menjelaskan perihal Yuni. Ia mengakhiri penjelasannya dengan bertanya, “apakah teman saya itu, bisa tinggal di sini, Bu?”
“Tentu! Tentu saja. Kami tidak akan menolaknya, Mbak Watik.”
“Aduuh… terimakasih, Bu!” kata Watik yang merasa amat lega mendengar jawaban Santi.
“Mungkin, ada baiknya kalau Mbak Yuni juga diajak ke sini, sebelum nanti tinggal di sini,” pinta Santi.
“Tadi, saya sudah ajak dia, Bu. Tapi, ia bilang, malu sama Ibu.”
“Mengapa harus malu. Kan ingin tinggal di sini..”
“Makhlum, Bu. Ia menceriterakan kehamilannya hanya kepada saya. Ia tidak ingin orang lain mengetahuinya,” jelas Watik memberi alasan.
“Ya… memang saya bisa memahami situasinya.” Setelah berhenti sejenak ia melanjutkan, “hampir semua yang melahirkan di sini memang dirahasiakan. Jadi katakan saja pada Mbak Yuni, bahwa tidak perlu cemas akan kerahasiaannya.”
“Ya, Bu. Nanti akan saya beritahukan padanya.”
Omong-omong, bagaimana Mbak Watik tahu tempat ini?” tanya Santi beralih ke soal lain.
“Tadi tanya-tanya pada banyak orang, Bu. Sulit carinya!” jawab Watik setengah berapi-api.
“Ya, memang dibuat seperti itu, supaya kerahasiaannya terjaga. Tapi yang saya maksud, bagaimana Mbak Watik mengetahui bahwa di sini ada tempat seperti ini?”
“Minta maaf, Bu! Saya salah tangkap, “kata Watik sambil tersenyum karena menyadari jawabannya tidak dimaksudkan Santi. “Saya mengetahuinya dari teman, Bu. Teman dari teman saya, katanya pernah melahirkan di sini. Ia menjelaskan banyak tentang situasi di sini. Sudah lama saya dengar, Bu. Sekitar satu tahun lalu, teman saya ceritera tentang tempat ini. Kemudian, beberapa hari yang lalu saya mencari nomor telepon Ibu dari teman itu tadi.”
“Sehingga waktu menghadapi Mbak Yuni, sudah ada gambaran..” sambung Santi dengan tertawa.
“Betul, Bu. Biarpun baru sedikit,” jawab Watik sambil mengangguk, lalu melanjutkan dan menatap Santi, “saya sangat kagum pada Ibu.”
Santi tidak menanggapi pernyataan Watik dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum dan memandang Watik.
“Jarang ada orang yang mau melayani orang lain sedemikian jauh seperti Ibu,” lanjut Watik yang dengan jujur memuji Santi.
“Ya.. Mbak Watik… mereka yang tersingkir memang harus lebih kita perhatikan. Dan juga, bayi yang tidak berdosa harus kita selamatkan. Kami sungguh prihatin, jika melihat berita-berita tentang pengguguran bayi. Apakah bayi itu tidak boleh hidup?” Santi berbicara dengan nada sedih [Model orang semacam ini juga bukan bo’ong-bo’ongan loh, alias benar-benar ada. Ada aja! Termasuk Anda mungkin?].
“Ibu, biayanya bagaimana selama Yuni tinggal di sini?” tanya Watik mengalihkan pembicaraan.
“Begini Mbak Watik… kami memang sungguh hanya mau membantu, sehingga kami tidak memikirkan soal itu. Memang, kalau yang dititipkan di sini itu disetujui oleh orang tuanya, biasanya dari orang tua ada sumbangan. Namun kami tidak pernah meminta, apa lagi mewajibkan. Nah, untuk kasus seperti Mbak Yuni, karena sangat dirahasiakan, juga di depan orang tuanya, kami tidak mengharapkan apa-apa. Bahkan kesediaannya untuk melahirkan di sini saja, kami sudah amat bersyukur. Bersyukur karena seorang manusia sudah diselamatkan dari ancaman pembunuhan.” [gile meks, hebat benar orang ini!].
“Tapi, Ibu mengeluarkan biaya banyak,” kata Watik pelan.
“Tidak menjadi soal yang besar Mbak. Saya tidak bergerak sendiri. Ini bukan pekerjaan saya sendiri. Ada beberapa teman seperjuangan yang ikutbertanggungjawab atas kelangsungan tempat ini. Pada mulanya, memang kami harus menanggung sebagian besar pembiayaan di sini. Tetapi setelah pelayanan ini berjalan bertahun-tahun, dan berpuluh-puluh orang sudah melahirkan di sini, sebagian alumni yang sudah bekerja, tanpa kami minta, menyumbangkan dana untuk kelanjutan pelayanan ini. Jadi, dari kami sungguh hanya tenaga dan kerelaan…”
“Oh… ibu sungguh baik,” seru Watik dengan spontan sambil sepintas ingin bertanya bagaimana keluarganya, namun merasa belum saatnya.
“Bukan saya yang baik… namun Dia…, yang di atas sanalah satu-satunya yang baik,” kata Santi sambil telunjuknya mengarah ke atas diikuti pandangan matanya, dan Watik pun ikut-ikutan melihat ke langit-langit. [Tatapan mata lahiriah mereka memang tertahan oleh langit-langit, tetapi tatapan mata batiniah mereka, des! menerobos langit-langit, ke atas… ke paling atas, Yang mengatasi segala sesuatu]. “Kami hanyalah sarana untuk menyalurkan kebaikan-Nya,” lanjutnya dengan pelan.
**********************
Kamu mau cuti? Mengapa, Yun?” tanya Dewi, teman satu kost-nya, ketika mendengar pemberitahuan Yuni. [Bertiga: Yuni, Watik dan Dewi menyewa satu rumah dekat kampus].
“Yah… capai. Saya mau istirahat sejenak.”
“Saya heran! Selama ini… kamu tampak semangat?”
“Mau kursus bahasa Jerman, Wi,” sahut Watik yang melihat Yuni tampak kebingungan.
“Mengapa harus di Jakarta? Di Yogya juga ada. Bahkan masih bisa kuliah.” Dewi semakin dibuatpenasaran.
“Begini, kebetulan di tempat kursus Jerman dekat rumahnya, ada orang Jerman yang datang, tapi hanya setengah tahun. Yuni mau mengambil kesempatan itu.” Watik berkata sekenanya.
“Ah… saya bertanya pada Yuni,” kata Dewi dan memandang Yuni dan Watik bergantian.
“Saya kan juga tahu, karena ia ceritera sama saya,” sahut Watik dengan tertawa untuk mengurangi keingintahuan Dewi.
“Benar, Yun?” tanya Dewi sambil menatap Yuni tajam.
“Memang begitu,” jawab Yuni dengan tersenyum.
“Ya deh, saya mau mandi dulu,” kata Dewi yang sejak tadi sudah menyandang handuk di bahunya.
Sementara Dewi mandi, Yuni berbisik pada Watik, “Tik.. terimakasih ya. Saya tidak menduga, ia akan bertanya-tanya terus.”
“Tapi itu malah menjadi tanda persahabatan yang baik dari dia. Memang sih, kita bodoh. Kita tidak mengantisipasi kemungkinan seperti tadi. Hampir saja ia sudah curiga. Selanjutnya kita harus hati-hati.”
*****************************
Pada mulanya Yuni merasa asing dan juga malu tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali baru. Namun penyambutan hangat dari Santi, dan Marsih [yang menerima Watik ketika datang pertama], serta lima perempuan yang senasib dengan Yuni, mengurangi keterasingannya. Apa lagi sebelum datang ke tempat itu, berulang kali Watik telah menekankan bahwa tempat itu adalah sebuah resiko sekaligus janji, jika ia ingin mempertahankan nama baik dan menyelamatkan kehidupan. “Yun… tempat itulah pilihan yang paling mungkin. Selain itu, saya tidak tahu lagi..” tegas Watik beberapa hari sebelum Yuni berangkat.
*****************************
Bagaimana keadaan Mbak Yuni setelah dua minggu di sini?” tanya Santi pada suatu sore ketika Yuni sedang menyeterika. [Suatu hal yang jarang dilakukannya di tempat kost. Tidak seperti Watik dan Dewi, untuk urusan cuci dan seterika pakaian, ia berlangganan pada laundry yang bertebaran di sekitartempat kostnya].
“Bu… di luar dugaan saya. Saya cepat betah. Memang sesekali teringat kampus dan teman-teman,” jawab Yuni dan sejenak berhenti menyeterika pakaian.
“Hal itu biasa, Mbak Yun.. Tapi lama-lama pasti bisa menyesuaikan diri.”
Yuni mencabut steker seterika, dan menaruh seterika di tempatnya, sambil berkata,” “Iya Bu, saya besyukur sekali, karena Ibu mau menampung dan memperhatikan saya dengan penuh kasih.”
Santi tersenyum sambil menarik kursi plastik, lantas duduk.. Yuni menyusul duduk di kursi sebelah Santi.
“Kalau dibandingkan saya harus menggugurkan kandungan, saya lebih memilih tinggal di sini. Misalnya saya menggugurkan kandungan, seperti kata Watik, dan ini pasti benar, saya akan dihantui oleh perasaan bersalah, karena telah membunuh manusia. Bu, tak ada kata lain, selain terimakasih banyak,” kata Yuni menatap Santi.
“Sama-sama Mbak Yun. Itu sudah menjadi pekerjaan saya. Bagi saya, yang penting Mbak Yun bisa tinggal dengan senang di sini. Kalau Mbak Yun senang, saya pun ikut senang,” kata Santi sambil tangannya memegang bahu Yuni.
Mendengar jawaban itu, Yuni terharu. Seorang perempuan yang bukan saudaranya dan bahkan sebelumnya tidak dikenalnya, dengan penuh perhatian mendampinginya ketika sedang berada dalam kesulitan [Pernahkan anda mengalami hal semacam itu? Kalau sudah, tidak ada tindakan lain yang penting dan harus, selain bersyukur. Kalau belum?].
*****************************
“Yuni, ada kabar tidak?” tanya Dewi pada Watik, sekitar dua bulan setelah Yuni berada di tempat pendampingan.
“Belum tuh. Tampaknya ia sibuk sekali, sampai-sampai tidak sempat kirim kabar.”
“Tahu nomor telepon rumahnya? Saya pernahdikasih, tapi entah ke mana”
“Saya tidak tahu,” jawab Watik dan menjadi agak terkejut.
“Masa tidak tahu?” tanya Dewi menyangsikan.
“Benar. Saya tidak tahu Wi. Yang saya tahu hanya nomor HP-nya.”
“Itu saya tahu. Tapi lewat HP kan mahal. Tapi sebenarnya, bisa saja pinjam HP si Koming untuk kirimSMS. Besoklah saya akan kirim SMS.” [Ini tahun 1999 lho! Jadi HP belum merebak kayak saat ini].
“Wi… jadi ke rumahku, tidak?” tanya Watik mengalihkan topik pembicaraan.
“Wah, tidak ada Yuni sepi ya? Tidak ada yang cerewet!” kata Dewi tidak mengacuhkan pertanyaan Watik.
“Hei, hei… kamu ini bagaimana Wi? Ditanya, tidak menjawab.”
“Oh.. sorry, sorryPikiran saya baru terpaku pada Yuni. Ya.. apa.. apa tadi?”
“Ah, tidak jadi,” jawab Watik pura-pura kecewa.
“Alaa… Gitu aja marah,” sergah Dewi sambil melirik Watik.
“Hah! Rugi Wik, memarahi kamu,” sahut Watik sambil tertawa, lalu melanjutkan, “besok, jadi tidak ke rumah saya?”
“Jadi dong! Asal tidak kedinginan seperti dulu.”Dewi ingat pertama kali datang ke rumah Watik.
“Makanya, pakai jaket yang tebal. Masa iya, kalah sama cuaca?”
******************************
Tit… tit….tit…tit…tit… [Waktu itu belum ada NSP, kan! Apa lagi ’Tak Gendong’-nya Mbah Surip].
Yuni yang sedang sibuk menulis di meja, meletakkan penanya dan meraih HP yang diletakkan di atas tumpukan buku. Di layar HP, terlihat nomor telepon ibunya.
“Hallo, selamat malam! Yuni ada di sini,” kata Yuni pelan.
“Ah, sok resmi Yun,” kata ibunya dari seberang.
“Iya Mam…siapa tahu Mama sudah ganti nomor, sehingga yang pegang orang lain. Atau dicuri orang, kali!”
“Ah, ngacau. Kalau HP-nya saya jual tentu saja nomornya tidak akan saya jual. Lagi pula kalau ganti, pasti akan beritahu kamu lebih dulu.”
Gimana kabar di rumah, Mam?”
“Semua baik. Papa dan mama sehat. Yu Inah kemarin batuk, ya sedikit bengek. Tetapi sekarang sudah sembuh. Yuni bagaimana?”
“Baik Mam! Jangan kawatir!” jawab Yuni yang sangat sadar akan kebohongan perkataannya.
“Ya, Mama senang. Yun… minggu depan saya akan ke Klaten.”
“Ada urusan apa, Mam?” tanya Yuni cepat begitu ibunya berhenti bicara, dan jantungnya berdebar-debar.
“Ada pertemuan dengan partner bisnis Mama.Tapi, Mama tidak bisa mampir ke Yogya. Dari situ langsung ke Surabaya.”
“Berapa hari di Klaten, Ma?” tanya Yuni yang langsung merasa lega, dan tangannya menepuk dada tiga kali.
“Satu hari saja. Kalau beberapa hari, pasti Mama mencari kesempatan untuk menemuimu. Yuni jangan kecewa, ya! Mama sedang sibuk sekali nih, tidak bisa mampir. Kapan-kapan Mama sempatkan secara khusus kunjungi Yuni.”
“Tidak mengapa, Ma. Lagian, Yuni juga sedang sibuk.”
“Sudah, begitu saja, Yun. Salam dari papa. Papa masih di kantor. Ia pesan supaya kamu belajar baik-baik.”
“Iya, Mam.”
Yuni meletakkan HP-nya dengan nafas lega. Sejak tinggal di tempat penampungan sudah berkali-kali ayah atau ibunya meneleponnya. Biasanya mereka hanya sekedar menanyakan keadaannya. Tapi, yang terakhir ini, membuat Yuni berdebar-debar, karena ibunya mau pergi ke Klaten.
“Untung sekali mama langsung ke Surabaya. Kalau tidak… bisa celaka. Yang saya kawatirkan kalau mama tiba-tiba nongol di tempat kost. Mudah-mudahan mama tidak berubah pikiran. Tapi, siapa tahu…..” katanya dalam hati.
Tiba-tiba, mata Yuni menjadi berkaca-kaca.
“Mengapa aku harus bersembunyi di tempat ini, sehingga terpisahkan dengan mama dan teman-teman? Aku jadi selalu membohongi papa dan mama. Dasar jahanam si Diman itu. Seandainya tidak ada dia, pasti saya tidak akan hamil dan mendekam di sini. Mengapa ia begitu penakut, lari meninggalkan kenyataan? O… Yuni.. Yuni… Yuni sendirilah yang tidak bisa menjaga diri. Terlalu menuruti hawa-nafsu. Murahan! O.. janin yang ada dalam perutku.. engkau telah menyusahkan aku. Maukah aku menggugurkanmu?” Yuni meraba perutnya dengan lembut. “Tidak kasihankah engkau padaku? Gara-gara engkau, aku harus berada di tempat yang memisahkan aku dengan orang-orang yang aku kasihi…. Umurnya baru akan tiga bulan, aku masih bisa menggugurkannya. Bila aku berhasil menggugurkan, terbebaslah aku dari tempat ini. Ah, persetan dengan anjuran Watik. Persetan pula dengan pelayanan kasih Bu Santi. Siapakah yang mengandung janin? Bukankah aku? Aku! Bukan si Watik atau Bu Santi. Lalu mengapa mereka seenaknya memaksa aku melahirkan janin ini??? Aku berhak atas janinku sendiri. Tidak akan ada lagi yang menghalangi aku menggugurkannya.”
Yuni menutupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Air matanya menetes dan membasahi jemarinya.
“Aku harus lari dari sini. Harus! Tak ada kemungkinan lain. Dari sini aku akan mencari tempat yang biasa dipakai untuk aborsi. Aku sudah tahu dari obrolan kemarin dengan Ririn. Ia menyebutkan tempat itu. Aku tinggal mencarinya. Minta maaf Watik! Minta maaf Bu Santi! Aku tidak bisa mengikuti kehendak kalian.” [Lihat tuh! Yuni rupanya masih bimbang dalam menghadapi persoalannya yang memang tidak enteng. Mau apa dia, ya? Jangan-jangan…].
Yuni bangkit berdiri, dan melangkah ke tempat tidur yang terletak di sampingnya. Ia merebahkan diri di situ. Bruk!
“Habis menggugurkan aku akan pergi ke……. Iya, ke mana ya??? Kalau ke rumah, nanti bagaimana tanggapan papa dan mama. Mereka pasti heran, kalau aku pulang, pada hal bukan waktu libur. Jika kembali ke tempat kost, aku sudah terlanjur cuti kuliah. Dan lagi, bagaimana nanti tanggapan Watik… Huh… ataukah aku harus kabur ke tempat orang-orang yang belum mengenalku. Tapi, ini lebih mengerikan! Oh, Tuhan, bagaimanakah aku ini? Harus bagaimana?” Yuni mendesah panjang, dan akhirnya, “ Ya…. Mungkin memang aku harus di sini saja. Tak ada pilihan lain.” [Nah, syukurlah! Ia menjadi sadar kembali, meskipun oleh keterpaksaan]
****************************
Tampaknya kamu krasan, Yun?” kata Watik ketika mengunjungi Yuni untuk kesekian kalinya.
“Ya… begitulah Tik. Mau apa lagi? Inilah nasib saya.” Yuni menarik nafas berat.
“Sudahlah, Yun.. masa silam jangan terlalu menghantui dirimu. Sekarang, yang penting adalah masa depanmu,” sergah Watik.
Yuni menyungging senyum lalu berujar, “Tik… tepat sekali, kamu menyarankan aku tinggal di sini. Aku senang di sini. Memang, beberapa minggu lalu, aku sempat kalut. Aku ingin lari dari sini, namun tidak jadi. Aku terlalu emosional.”
“Kamu ingin lari?” tanya Watik dengan tekanan dan tatapan tajam.
“Iya. Tapi jangan cemas! Sekarang, tidak. Aku sudah bisa menguasai diri.”
“Syukurlah. Saya juga ikut senang. Bagaimana teman-temanmu di sini?”
“Mereka baik-baik Tik. Ya, rupanya karena senasib. Pengalaman mereka juga mirip-mirip aku. Mulanya, mereka mau menggugurkan janinnya, tetapi setelah mengetahui ada tempat penampungan ini, tidak jadi. Ada lima, dan sudah akrab semua. Aku merasa sekeluarga.” Yuni berhenti sejenak, untuk menghela nafas, lalu melanjutkan, “yang persis dengan pengalamanku ada tiga, yaitu Ririn, Asih dan Wulan. Kalau Tini lebih menyedihkan. Ia diperkosa oleh tetangganya sendiri. Karena ayah ibunya tidak mau mempunyai cucu dari perkosaan, mereka memaksanya untuk aborsi. Karena ia sayang pada bayinya, ia ngotot tidak mau. Orang tuanya memaksa terus. Akhirnya, ia kabur dari rumah. Berkat bantuan temannya, ia masuk di sini.”
“Hebat benar dia. Luar biasa! Ia mau berkurban begitu besar untuk keselamatan bayinya,” seru Watik.
“Nah, yang saya takutkan dahulu, kalau papa dan mama tahu, juga akan bertindak seperti orang tua Tini: marah-marah dan kecewa,” kata Yuni dan sepintas teringat pada anjuran Watik untuk jujur pada orang tuanya.
“Bisa jadi,” sahut Watik singkat, dan dalam hati berkata bahwa ia memang tidak bisa menduga-duga tanggapan orang tua Yuni, karena belum mengenal mereka.
“Ningsih lain lagi, Tik. Ningsih itu kemenakan Bu Santi,” kata Yuni kembali ke perihal mereka yang tinggal di situ.
“Kemenakan Bu Santi?” tanya Watik dan terperangah, serta suaranya sedikit mengeras.
“Iya.Ssst,, jangan keras-keras!” pinta Yuni dengan melemahkan suara.
“Lho, kok bisa?” tanya Watik dengan suara selemah suara Yuni.
“Mengapa tidak bisa. Ini kan bisa terjadi pada siapa saja.”
“Iya, ya,” jawab Watik sambil berusaha menghilangkan keheranannya yang sesungguhnya tidak perlu.
“Ia disembunyikan oleh orang tuanya di sini. Orang tuanyalah yang berinisisatif. Ia diperkosa oleh teman sekampusnya. Temannya sudah naksir dari dulu, namun Ningsih tidak pernah mau menanggapi. Pada suatu sore, ia diminta menemani temannya itu berbelanja. Mereka berboncengan dengan motor. Ia tidak curiga sedikit pun, juga ketika dibawa mengarah ke Kaliurang. Dikiranya, ya, hanya jalan-jalan. Ia terkejut, ketika di Kaliurang temannya mengajak untuk sewa hotel. Ia tidak bisa melawan. Kalau tidak mau, diancam akan dibunuh. Juga ketika ia harus melayani temannya itu. Ia masih ingin hidup. Di luar dugaannya, rayuan cinta gombal temannya tak terbukti. Setelah kejadian itu, temannya tidak mau bertanggungjawab. Alasannya, katanya Ningsih sudah tidak perawan.”
“Ck…ck.. laki-laki kurang ajar! Mengapa keluarganya tidak memaksa laki-laki itu untuk menikahinya?” tanya Watik dengan suara pelan dan sedikit geram.
“Sudah. Tetapi Ningsih sendiri berpikir, dari pada menikah dengan laki-laki yang merasa terpaksa, lebih baik merawat anaknya tanpa ayah. Maunya sih, Ningsih tetap bertahan di rumah orang tuanya. Tetapi orang tuanya merasa malu sama tetangga. Akhirnya, tempat inilah pilihannya.”
“Jadi, tidak semua yang tinggal di sini dulu ingin menggugurkan?”
“Seperti Ningsih, tidak. Lebih karena untuk menutupi nama baik orang tuanya. O ya, sorry! Tadi aku mengatakan semua yang di sini, sebelumnya ingin menggugurkan. Lupa!” kata Yuni sambil tertawa, menyadari kesalahannya.
“Semuanya tragis..” seru Watik.
“Tapi, untunglah Tik.. ada orang-orang yang punya perhatian pada saya dan mereka yang senasib seperti saya. Coba kalau tidak..”
“Digugurkan!” sahut Watik.
“Jadi, bisa diperkirakan, –ini kata Bu Santi —berapa manusia yang masih di dalam kandungan yang dibunuh. Mengerikan!”
Mendengar perkataan itu, Watik amat lega, karena Yuni mempunyai perkembangan pemahaman.
“Tapi bisa dipahami, Yun. Banyak perempuan menggugurkan janin mungkin karena tidak tahu tentang kejahatan aborsi. Ataupun misalnya tahu, terpaksa juga menggugurkan, karena malu dan tidak mau repot. Ah, seandainya mereka tahu tempat seperti ini…dan banyak tempat seperti ini diadakan, pastilah banyak manusia baru yang bisa diselamatkan dari bahaya pembunuhan.”
Yuni mengangguk. Anggukan yang mencerminkan pengharapan yang sama dengan harapan Watik.
“Tik, bisa minta tolong?”, kata Yuni sesudah sejenak mereka diam.
“Apa?”
“Saya tidak enak kalau tinggal di sini, tetapi tidak membayar sedikit pun. Jadi, setiap bulan selama saya di sini, tolong ambilkan uang melalui ATM dan langsung serahkan saja pada Bu Santi.”
“Baik. Tidak masalah. Saya bisa melakukan itu.” Watik diam sejenak, lalu melanjutkan, “memang sih, kita tidak meragukan ketulusan Bu Santi. Tapi kalau memang kamu mempunyai uang, mengapa tidak?”
“Lagian nih ya, kalau saya tidak pernah mengambil uang, nanti papa dan mama bisa menjadi curiga, ya kan?”
Watik mengangguk.
“Menurut kamu, setiap bulannya berapa, Tik?”
“Mungkin, lebih baik sama seperti kebutuhanmu sebelum ini.”
*********************************
Siang itu, Watik berada sendirian di tempat kost.Baru sorenya ia akan kuliah. Dewi, teman satu-satunya di kost setelah Yuni pergi, sedang kuliah.
Ting tong… ting tong… ting tong….” Bunyi bel tamu menggema sampai ke kamar Watik yang sedang membaca. Ia bergegas ke pintu depan untuk melihat yang datang.
Begitu membuka pintu dan melihat dua orang yang datang, laki-laki dan perempuan tengah baya, Watik sekejap tertegun.
“Selamat siang!” sapa Watik dengan senyum untuk menutupi keterkejutannya.
“Selamat siang,” jawab tamu yang perempuan sambil menyodorkan tangan ke arah Watik.
“Ibu… ibu Yuni dari Jakarta?” tanya Watik ketika menjabat tangan perempuan itu.
“Betul. Saya juga masih ingat Adik, waktu dulu saya ke sini mengantar Yuni,” kata perempuan ituketika Watik sedang menyalami tamu laki-laki yang dari tadi belum buka suara.
“Mari.. mari, silahkan masuk!” katanya karena menyadari tamunya belum dipersilahkan masuk. Ia bingung bagaimana menghadapi laki-laki dan perempuan yang adalah orang tua Yuni itu. Kemungkinan semacam itu belum pernah diperhitungkan Watik, karena ia mendengar dari Yuni bahwa orang tuanya pasti memberitahu dahulu sebelum mengunjunginya.
“Yuni ada tidak, Dik?” tanya ibu Yuni setelah mereka duduk di kursi tamu.
Watik tidak langsung menjawab. Inlah pertanyaan yang dia takutkan. Lantas tiba-tiba muncul begitu saja kata-kata dari mulutnya, “aduuh Bu…, ia sedang live-indi Purworejo.”
“Berapa hari?” tanya ibu Yuni tampak kecewa dan memandang suaminya.
“Katanya, satu minggu,” jawab Watik dibuat meyakinkan, sambil berharap dengan sangat, mudah-mudahan Dewi tidak segera pulang.
Gimana, Pa?” tanya ibu Yuni pada suaminya, yang sejak awal masih diam terus.
“Itu.. di luar kota atau dalam kota, Dik?” Ayah Yuni membuka mulut.
“Katanya, di luar kota. Memang, kalau live-in biasanya di luar kota.”
“Coba Ma, ditelepon!”
Mendengar itu, jantung Watik berdetak keras. Apa lagi ketika ibu Yuni mengambil HP dari tasnya, dan bersiap menelepon. “Duh, bisa berantakan, nih!“ pikir Watik.
“Kalau jam sebelasan begini, kegiatan Yuni apa, Dik?” tanya ibu Yuni sambil menempelkan HP-nya di telinga kanannya.
“Saya tidak tahu persis, Bu,” jawab Yuni yang sangat-sangat berharap saat itu HP Yuni dimatikan.
“Bagaimana, Ma?” tanya ayah Yuni ketika istrinya belum bicara juga.
“Aneh… tidak diangkat. Masuk sih masuk. Kenapaya? Mungkin ia sedang jauh dari HP-nya. Kalau begitu di-SMS saja.”
Duh, leganya! Watik senang, karena ibu Yuni tidak berhasil menghubungi Yuni.
“Pak, Bu, ingin minum kopi atau teh?” tanya Watik setelah ibu Yuni meletakkan HP-nya di meja.
“Ah, tidak usah repot-repot, Dik. Kami masih ada acara di keraton,” jawab ayah Yuni sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu.
“Betul Dik. Tolong sampaikan saja titipan kami untuk Yuni, nanti kalau ia sudah pulang. Kami haruskembali ke Jakarta sore ini juga,” kata ibu Yuni seraya menyerahkan bungkusan plastik hitam pada Watik.
“Baik Bu, minggu depan titipan ibu akan saya sampaikan.”
“Kok belum dibalas, Pa?” tanya ibu Yuni pada suaminya sambil mengambil HP dari meja dan memasukkannya ke dalam tas, yang sepertinya terbuat dari kulit buaya Sumatera.
“Mungkin saja perginya lama,” jawab suaminya menduga.
“Ya sudahlah, kita jangan terlalu merepotkan adik ini, eh lupa nama Adik siapa?”
“Watik, Bu,”
“O iya, Watik. Dik Watik, kami akan berangkat. Terimakasih ya.. sudah diterima dengan baik,” kata ibu Yuni yang langsung berdiri dan menyalami Watik.
Watik mengantarkan ayah dan ibu Yuni sampai ke pagar rumah. Setelah mereka jauh, buru-buru Watik lari ke wartel.
“Yun.. Yun.. Ini Watik!” kata Watik cepat ketika di seberang telepon ada sapaan.
“Ya.. saya sudah tahu. Papa dan mama datang kan? Terus bagaimana, Tik?”
“Kamu belum jawab SMS-nya kan?”
“Belum, saya harus pikir dulu..”
“Begini, tadi saya katakan bahwa kamu sedanglive-in di Purworejo selama satu minggu. Lalu mereka tanya tentang tempatmu. Saya katakan di luar kota. Maksudnya supaya tidak berusaha menemuimu. Nah, setelah kirim SMS ke kamu tadi, mereka pergi ke keraton. Begitu mereka pergi, aku langsung menelepon kamu. Jadi sekarang, mereka ada dalam perjalanan ke keraton.”
“Mama tidak curiga kok, Tik.”
“Tahunya?” tanya Watik yang diliputi keheranan karena suara Yuni tampak tenang.
SMS-nya tadi, kurang lebih mengatakan begini: kamu sedang sibuk Yun. Papa dan mama ke kost, tapi Yuni sedang di Purworejo. Mama memang sengaja membuat kejutan untuk Yuni. Datang tanpa beritahu. Tak tahunya, Yuni malah tidak ada. Papa dan mama menghadiri pernikahan rekan bisnis di keraton. Nanti sore harus ke Jakarta. Sudah ya.. baik-baik di Yogya.”
“Aman dong, kalau begitu!” kata Watik dengan lega.
“Terimakasih Tik, kamu langsung telepon saya, sehingga saya tahu lebih persis situasi di tempat kosttadi.”
“Tadi waktu ibumu menelepon, kamu tidak angkat?”
“Tadi saya sedang cuci. Ketika saya selesai mencuci dan ke kamar, aku membaca SMS mama.”
“Untung sekali, kamu sedang mencuci. Kalau tidak, kamu bisa menjawab sedang di kost atau sedang kuliah. Pada hal ibumu di kost dan saya beritahu kamu di Purworejo. Hampir saja… Besok saya datang ke situ ya. Kita ceritera lagi.”
Watik meletakkan gagang telepon dengan gembira-ria.
Dalam perjalanan ke tempat kost, ia berpikir tentang perlu-tidaknya memberitahukan pada Dewi perihal Yuni. Seandainya ia tidak memberitahukan, apa bila suatu saat, seperti yang baru terjadi, orang tua Yuni datang tanpa berita, dan yang kebetulan yang menerima Dewi, masalahnya bisa rumit. Akan tetapi, kalau ia memberitahu Dewi, –supaya kalau kebetulan menerima orang tua Yuni bisa juga merahasiakannya–,menurut pengalamannya, Dewi sulit untuk menjaga rahasia, apa lagi rahasia sebesar dan sebahaya itu. Akhirnya, ia memutuskan tidak perlu memberitahu Dewi. Apa lagi, Yuni sudah berpesan, agar jangan sampai ada orang lain menjadi tahu, termasuk teman satu kost-nya itu.
*************************
Pada bulan keempat sesudah Yuni tinggal di penampungan, atau pada bulan keenam kehamilannya, datanglah seorang pemuda berpenampilan perlente ke tempat kost Watik. Saat itu, yang ada di rumah hanya Dewi.
“Selamat siang Mas, mau bertemu siapa?” tanya Dewi dengan senyuman mengembang ketika menyambut laki-laki itu.
“Selamat siang Mbak. Saya ingin bertemu Yuni, apakah ada?” jawab laki-laki itu dengan membuat senyuman mengembang pula.
“Yuni-nya tidak ada. Ia sedang cuti kuliah. Katanya selama semester genap ini,” jawab Dewi dan tidak mempersilahkan tamunya masuk.
“Cuti?” tanya pemuda itu tampak terkejut.
“Iya, katanya mau kursus bahasa Jerman.”
“Di mana kursusnya?” Pemuda itu mengejar.
“Di rumahnya. Di Jakarta. Mmm…. Minta maaf Mas! Nama Mas, siapa?”
“Saya, Yanto.”
“Kuliah sekampus dengan Yuni?”
“Tidak. Saya di kampus lain.”
“Mbak… apakah saya bisa minta alamat Yuni di Jakarta?” kata pemuda itu lagi karena Dewi tidak bicara.
“Rumahnya?”
“Iya.”
“Baik, akan saya carikan dulu. Mas, silahkan masuk! Tunggu di dalam saja!”
Setelah pemuda itu duduk di ruang tamu, Dewi melangkah ke kamarnya. Sambil membolak-balik buku alamatnya, ia berkata dalam hati, “sejauh ini saya sedikit-banyak tahu teman-teman laki-laki Yuni, karena sering datang ke sini. Tapi kalau yang satu ini, sepertinya belum pernah saya lihat. Aneh.. di sini tidak ada. Rasanya Yuni pernah memberikan alamat rumahnya dalam secarik kertas. Apakah saya lupa nulis di sini ya? Payah.. pasti saya lupa menyalinnya. Mungkin di tumpukan kertas ini?”
Dewi meneliti tumpukan kertas yang semrawut malang-melintang di meja belajarnya. [Harap makhlum, ia sedang mempersiapkan ujian mid-semester! Jadi, bukannya orangnya tidak suka yang rapi-rapi, lho!]
“Wah, pasti hilang. Tidak ada. O, mungkin Watik masih nyimpan,” pikirnya.
Ia melihat jam dinding, dan berkata dalam hati, “sebentar lagi, Watik pulang. Saya suruh saja ia menunggu Watik.”
Dewi kembali ke ruang tamu untuk menemui pemuda tadi.
“Mas, alamat yang diberikan pada saya, rupanya hilang. Saya sudah ngobrak-abrik kamar, tetapi tetap saja tidak ditemukan. Sebentar lagi teman saya pulang. Siapa tahu dia simpan alamatnya.”
“Tapi, kira-kira di daerah mana, Mbak?” tanya pemuda itu berlaku tenang.
“Maksudnya?” Dewi menatap pemuda itu dan mengernyitkan kening,.
“Maksudnya..letak rumah Yuni di Jakarta.”
“Yang saya ingat… hanya.. Jakarta Selatan. Mas tidak punya nomor HP-nya?”
“Punya. Tapi, tiap kali saya telepon, tidak pernah mau memberi tahu alamat rumahnya di Jakarta.”
“Oh, begitu,” seru Dewi dan tiba-tiba merasakan gelagat pemuda itu tampak aneh.
“Selamat siang!” seru Watik yang sudah muncul di pintu dan tersenyum.
“Siang, Tik. Sudah pulang?” tanya Dewi menatap ke arah Watik.
Watik mengangguk dan langsung melangkah ke kamarnya yang terletak paling jauh dari ruang tamu.
Dewi bergegas menyusul ke kamar Watik.
“Tik, orang itu mencari Yuni,” bisik Dewi ketika sudah menutup pintu kembali.
“Terus?” tanya Watik sambil melepas sepatunya. Watik berusaha untuk tenang.
“Ia tanya alamat Yuni.”
“Sudah kamu beritahu?” tanya Dewi sambil mengambil sandal di pojok kamar.
“Belum. Saya cari-cari di catatan saya, tidak ada.Saya baru ingat, malah tempo hari saya pun tanya kamu. Tapi begini Tik, saya agak curiga pada orang itu.”
“Maksudnya?” tanya Watik yang menyusul duduk di ranjang di samping Dewi.
“Ia punya nomor HP Yuni, dan pernah menghubungi Yuni. Tapi, katanya Yuni tidak pernah mau memberikan alamat rumahnya. Jangan-jangan, ada apa-apa di balik itu.”
Mereka diam sejenak.
“Lalu mau kita apakan orang itu?” kata Watik memecah keheningan kamar sambil menduga-duga posisi sikap Dewi.
“Untuk sementara, biar saja tidak usah diberitahu.”
“Mau diberitahu bagaimana? Saya pun tidak menyimpan alamat Yuni.”
“Iya, ya.”
“Sudah temui saja!” kata Watik kemudian.
“Dengan kamu, Tik!”
“Mengapa? Tadi kan kamu yang terima.”
“Tidak, supaya kita tahu lebih jauh siapa dia.”
“Ayolah!”
Mereka berdiri dan berjalan menuju ruang tamu.
“Ternyata, Watik juga tidak tahu, Mas!” kata Dewi setelah mereka duduk.
“Selama ini memang Yuni pelit dalam membagikan alamat rumahnya. Tadi coba kami telepon ke teman-temannya, juga tidak ada yang tahu,” kata Watik berbohong [Jelas bohonglah, telepon rumah tidak ada, dan dia pun tak punya HP].
“Mas, saudara Yuni?” tanya Watik ketika tidak ada yang bicara lagi.
“Saya temannya. Saya bingung, karena Yuni tanpa memberi tahu saya, pergi begitu saja. Saya kawatir, dia ada apa-apa. Apa lagi ketika saya telepon lewat HP-nya, ia tidak mau memberi alamat rumahnya. Saya cemas sekali.” Pemuda itu menampakkan raut muka cemas yang sangat.
“Sejauh kami tahu, sekarang ini dia tidak ada masalah,” tegas Watik.
“Ya sudah Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu. Terimakasih Mbak.”
“Sama-sama Mas. Minta maaf, karena tidak bisa membantu.”
Ketika pemuda itu sudah pulang, sekali lagi terbetik dalam benak Watik untuk melibatkan Dewi dalam usaha perahasiaan keadaan Yuni. Tetapi begitu ingat pesan Yuni, buru-buru pikiran itu ditepisnya jauh-jauh.
**************************
Yun, kemarin ada seorang pemuda yang mencari kamu,” kata Watik ketika hari berikutnya sengaja mengunjungi Yuni.
“Siapa namanya?”
“Yanto. Namanya saya tahu dari Dewi.”
“Yanto?”
“Ya. Tidak kenal?”
“Rasanya, tidak ada temanku yang namanya Yanto.”
“Katanya, ia sering telepon kamu.”
“Memang ada yang telepon, tapi bukan Yanto.”
“Ah, kalau begitu, pemuda kemarin bohong. Saya sudah duga sejak saat itu juga”
“Ciri-ciri orangnya seperti apa?”
“Kulit kuning langsat, rambut berombak, pakai kaca mata, lalu…”
“Ada bekas luka di pipi?” tanya Yuni membantu, karena sudah membayangkan orang yang dimaksud Watik.
“Ya.. di pipi kanan, eh.. pipi..”
“Di pipi kiri.”
“Ya, di pipi kiri.”
Yuni menarik nafas panjang. Pandangannya menerawang ke tembok, seolah-olah bisa menembusnya.
“Mengapa Yun?” tanya Watik yang terkejut pada Yuni yang lalu diam saja.
“Kamu beri tahu sesuatu tidak pada orang itu?”Yuni memandang Watik dengan tatapan sayu.
“Tidak. Yang menerima pertama itu Dewi. Waktu itu saya masih kuliah.Untungnya, nomor telepon dan alamat yang pernah kamu berikan pada Dewi, hilang. Kalau tidak, pasti Dewi sudah memberikannya. Dewi pun curiga pada gelagat orang itu. Makanya ketika saya pulang, ia langsung menyusul ke kamarku dan mengatakan kecurigaannya. Akhirnya, orang itu saya bohongi, bahwa saya pun tidak tahu alamatmu. Tidak lama kemudian, ia pulang,” jelas Watik dengan penuh simpati.
“Tik.. Dia itulah yang telah menghamili aku,” kata Yuni pelan.
“Oh..” seru Watik lebih pelan lalu diam, dan teringat sosok laki-laki yang mengaku bernama Yanto dan mencemaskan Yuni.
“Mengapa ia mencari kamu?” tanya Watik kemudian.
“Tidak tahu. Yang jelas, dahulu, ketika aku beritahu bahwa aku hamil, ia memaksa aku untuk menggugurkan kandungan. Seminggu kemudian, ia beritahu lewat telepon, akan pergi ke Kalimantan. Makanya, waktu itu saya sangat bingung dan kacau-balau. Kamu ingat kan waktu aku datang ke kamarmu?”
Watik mengangguk, dan berpikir memang selama ini dia tidak pernah menanyakan siapa teman laki-laki Yuni yang menghamili. Maksudnya, agar Yuni tidak menjadi sedih kembali.
“Untuk apa sekarang cari saya? Dia sudah tidak bertanggungjawab.”
“Sering telepon?” tanya Watik pelan.
“Selama ini sudah telepon saya dua kali. Sebulan lalu dan minggu lalu. Pernah saya berpikir untuk ganti nomor, supaya ia tidak bisa menghubungi, tapi nanti papa dan mama bisa curiga. Soalnya, nomorku, nomor Jakarta. Makanya, ia masih bisa nelpon saya. Karena lewat wartel, saya tidak pernah tahu kalau dari dia.”
Watik masih diam untuk mendengarkan.
“Tik, bayangkan! Ia bertanya padaku, “sudah digugurkan belum?” Siapa tidak dongkol? Lalu saya jawab, “kamu tidak perlu tahu.” . Katanya, ia mau bertanggungjawab kalau belum digugurkan. Lalu saya katakan, “jangan mempermainkan aku!” Ia memang pernah tanya alamat rumahku, karena saya katakan saya tidak di Yogya lagi. Saya tidak akan pernah kasih. Sampai sekarang ia tidak telepon lagi.”
“Jadi, ia datang ke tempat kost, ingin membuktikan bahwa kamu memang sudah tidak di Yogya?’
“Mungkin,” jawab Yuni singkat dengan nada sebel.
“Sebenarnya dia itu siapa, Yun?” tanya Watik lebih berani, karena Yuni mulai terbuka.
“Saya pun belum tahu banyak.”
“Hah! Masa. iya?” sahut Watik heran.
“Iya. Saya tahu dia pertama kali lewat SMS. Tidak tahu, dari mana ia dapat nomorku. Iseng aja kali! Kemudian janjian untuk bertemu. Memang gobloknya aku ini. Aku mudah tertarik pada pandangan pertama. Baru seminggu berkenalan, saya sudah mau diajak ke mana-mana.”
“Lho, biasanya kamu mengajak teman laki-lakimu ke kost? Yang ini, rasanya belum pernah lihat kamu ajak ke kost.”
“Memang yang ini, tidak. Kami selalu bertemu di lembah UGM. Akhirnya, peristiwa yang mengantarku ke sini, terjadi. Hanya satu bulan setelah berkenalan.”
“Kamu pernah beritahu alamat kost kita?”
“Kalau tidak salah, ya. Aku pernah katakan.”
“Sekarang ia mau tanggungjawab, kan?”
“Omong kosong. Saya tidak yakin. Saya tidak ingin disakiti untuk kedua kalinya. Yang saya takutkan adalah begini, Tik. Kalau ia sampai tahu alamat rumahku, datang ke sana dan bertemu dengan papa dan mama, usaha kita bisa gagal berantakan, hancur berkeping-keping. Papa dan mama bisa tahu kalau saya tidak kuliah, dan lebih parah lagi….”
“Kalau misalnya ia berhasil ke rumahmu dan orang tuamu tahu, ya… terus terang saja, Yun! Pasti orang tuamu tidak akan mengusirmu.”
“Bagi aku berat Tik. Aku anak tunggal. Dua kakakku meninggal ketika masih kecil. Maka, kalau papa dan mama tahu keadaanku begini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya mereka. Tidak Tik. Itu jangan terjadi.”
“Saya rasa tidak, ia tidak akan menemukan rumahmu. Laki-laki itu belum kenal teman-temanmu kan?”
“Belum. Kenal saya saja belum lama.”
“Pasti ia tidak akan menemukan. Atau, mungkin hanya alasan untuk datang ke kost saja, sampai ia tanya-tanya alamatmu segala.”
“Mudah-mudahan hanya begitu.”
Mereka terdiam beberapa saat.
“Di sini, kamu bisa tenang, kan?” kata Watik kemudian.
“Bisa. Saya tidak pernah pusingkan masalah lain.”
“Baguslah… apa lagi kandunganmu sudah berumur enam bulan. Ketenangan amat diperlukan.”
Yuni mengangguk.
“Dari rumah masih sering ada telepon?“
“Biasa. Tidak masalah. Papa dan mama terlalu sibuk, sehingga tidak pernah curiga.”
***************************************************
Yuni berbaring di tempat tidur dikelilingi oleh Santi, ibu yang mendampinginya, dan tiga perempuan lain yang tinggal di situ. Dua “pasien” lain sudah kembali, karena sudah melahirkan.
“Mbak Yun… ini, Mbak Watik datang,” kata Santi di dekat telinga Yuni.
“Watik… kamu harus di sini,” kata Yuni dengan suara lemah. Matanya dipicingkan ke arah Watik yang baru saja datang dan berlutut di samping ranjang rendah tempat Yuni berbaring.
“Ini aku Yun…” kata Watik dan tangan kanannya memegang tangan Yuni.
Yuni kembali memejamkan mata, merasa tenang karena sahabatnya sudah ada di sampingnya.
“Sudah lama tanda-tandanya, Bu?” tanya Watik menoleh ke arah Santi, yang masih di sisi kepala Yuni.
“Tadi siang, ia sudah mulai sakit perut.”
“Tebakan Ibu tepat ya? Kemarin Ibu mengatakan, kemungkinan besok. Ternyata benar!” kata Watik yang belakangan selalu mengunjungi Yuni. Dewi yang melihat Watik selalu pergi, sering bertanya-tanya padanya. Watik menjawabnya dengan dibuat semasuk akal mungkin.
Mendengar itu, Santi berkata sambil tersenyum, “belum terbukti, Mbak.”
Ramalan Santi tidak meleset. Sekitar jam sembilan malam, Yuni dengan rasa sakit yang luar biasa, berhasil melahirkan bayinya. Perempuan. Sejenak sesudah melahirkan, Yuni pingsan. Santi mengatakan pada Watik yang kawatir, bahwa hal itu biasa saja.
Ketika siuman, Santi berbisik, “Mbak Yun, bayinya sehat. Perempuan.”
“Terimakasih, Bu,” kata Yuni lemah, hampir tak terdengar, sambil tangannya memegang tangan kanan Santi yang duduk di pinggir ranjang menghadap Yuni.
“Watik!” panggil Yuni.
Watik yang berada di ujung kaki Yuni, mendekat ke sisi kepala Yuni, dengan menyungging senyum.
“Terimakasih, Tik. Engkau adalah teman yang amat baik.”
Yuni menarik tangan kanan Watik ke atas dadanya dan dipeluknya erat-erat. Air mata Yuni merembes dari matanya yang terpejam. Watik pun tidak tahan untuk tidak menangis dalam haru. Melihat mereka menangis, perlahan-lahan Santi beringsut meninggalkan tempat itu.
***********************************
Seminggu sesudah melahirkan, Yuni sudah segar kembali. Bayi yang dilahirkan juga sehat. Bayi itu dirawat dengan penuh kasih oleh Marsih, perempuan yang menerima Watik pertama dahulu. Ia adalah pengasuh pertama bayi-bayi yang dilahirkan di situ, sebelum dibawa pulang oleh ibunya atau diadopsi oleh orang lain.
“Mbak Yuni, bagaimana rencana selanjutnya?” tanya Santi ketika Yuni sedang menimang bayinya.
“Ya, Bu… saya memang sangat mencintai anak saya ini. Ingin sekali saya mengasuhnya. Namun bila mengingat bahwa saya harus kuliah lagi dan kelahiran anak ini saya rahasiakan, saya harus melepaskan anak ini.”
“Mbak Yuni harus mantap dengan yang direncanakan dahulu. Saya mendukung Mbak Yuni untuk melanjutkan kuliah lagi. Kalau memang, anak ini harus dirahasiakan di hadapan orang tua, tidak masalah.”
“Tapi… saya mencintai anak ini, Bu!”
“Saya amat memahami perasaan Mbak Yuni. Sebagai perempuan yang melahirkan anak ini, pastilah ada hubungan emosional yang erat, sehingga amat berat untuk meninggalkannya. Akan tetapi, biarpun Mbak Yuni kuliah, bukankah masih bisa mencintai anak ini. Kami akan merawatnya. Tidak perlu cemas. Itu semua demi kebaikan Mbak Yuni dan juga anak ini.”
“Bagaimana caranya, Bu?”
“Ada banyak cara untuk itu. Tapi tidak perlu kita bicarakan sekarang. Yang jelas, dalam waktu dekat, Mbak Yuni harus siap-siap bertemu orang tua di Jakarta. Kata Mbak Watik ini sudah ujian semester genap. Jadi tidak lama lagi liburan panjang.”
“Jadi, dari sini harus langsung ke Jakarta, Bu. Tidak perlu ke tempat kost?”
“Menurut saya, sebaiknya begitu. Katanya, teman-teman kampus tidak boleh tahu. Kalau Mbak Yuni muncul di kost, mungkin akan ada yang bertanya-tanya.”
“Terimakasih, Bu. Saya menunggu Watik saja, Bu. Sudah empat hari, tidak datang ke sini.”
“Sedang ujian kan? Pasti sesudah longgar, ia datang ke sini,” jelas Santi, yang memang akhir-akhir ini lebih tahu acara Watik dari pada Yuni.
**********************************
Malam hari. Watik duduk terpekur di meja belajarnya. Ujian semester tinggal satu mata kuliah saja, esok hari. Ia rasa, hari ini belajarnya sudah cukup, meskipun ia tidak begitu yakin, apakah bisa mengerjakan semua soal atau tidak.
Matanya memandang tembok putih di depannya. Pikirannya mengembara.
“Hmm… Yuni sudah berhasil melahirkan. Puas rasanya, bisa sedikit membantu teman yang sedang berada dalam kesulitan, dan yang lebih utama, melindungi kehidupan seorang anak manusia.
Tapi… untuk itu, saya harus berbohong dan berbohong. Pertama, tentu saja kepada Dewi, yang selama ini selalu penasaran tentang Yuni yang tidak tahu ujung pangkalnya. Yang kedua, berbohong kepada orang tua Yuni. Hi… ngeri, kalau sampai tahu bahwa mereka saya bohongi, bisa matik aku! Yang ketiga, berbohong kepada siapa saja yang bertanya tentang Yuni, termasuk kepada ayah bayi yang dilahirkan Yuni, si Yanto geblek itu. Eh, jangan-jangan nanti saya jadi pintar bohong. Akhirnya, saya dicap sebagai pembohong. Wah…
Bohong dan bohong! Oh Tuhan, berdosakah aku???? Ampunilah aku ya Tuhan, karena aku telah membohongi banyak orang. Tapi, ya Tuhan! Kalau saya tidak bohong, satu manusia yang Engkau ciptakan dalam rahim Yuni sangat terancam, akan digugurkan. Dan lain lagi, Yuni mengaku lebih baik mati dari pada orang tuanya tahu kalau dirinya hamil. Ingatlah ya Tuhan, pembicaraan kami, Yuni dan saya, di candi Sambisari delapan bulan yang lalu! Saya yakin Engkau mendengar pembicaraan itu. Itulah Tuhan, makanya aku memutuskan untuk berbohong dan berbohong lagi. Jujur Tuhan, saya berbohong bukan untuk keuntungan diri saya pribadi –kalau misalnya ada, ampunilah aku, ya Tuhan, karena aku ini orang lemah–, melainkan demi sahabatku dan demi manusia baru, ciptaan-Mu yang dikandungnya….”
Watik dengan tidak sengaja melanjutkan permenungannya dengan tertidur.
Kira-kira setengah jam kemudian, glodak! Watik terjatuh dari kursinya. Kursinya pun menyusul jatuh menimpa pinggangnya.
“Sialan… rupanya setelah termenung tadi, aku langsung tidur,” kata Watik dalam hati, sambil terseok-seok bangkit dari lantai. Dengan berdiri, ia mengamati dan meraba-raba bagian-bagian tubuh yang rentan terhadap benturan. Tidak ada yang cedera. Cuma kecelakaan kecil. Biasa!
Setelah mendirikan kursinya yang ikut berbaring di tempat semula, ia menuju pembaringan di sampingnya. Sebelum benar-benar tidur, ia tidak lupa berdoa [Ya, selamat tidur!].
************************************
Esok harinya, sesudah rangkaian ujian semester enamnya selesai, Watik langsung mengunjungi Yuni.
“Sudah selesai ujian, Tik,” sapa Yuni begitu ketika Watik sampai.
“Iya, sudah. Tadi yang terakhir. Bagaimana keadaanmu,Yun?”
“Baik. Menurut Bu Santi, kondisi badanku sudah normal.”
“Bayimu?”
“Juga sehat. Ayo kita lihat ke kamarnya!” ajak Yuni dan mendahului langkah ke kamar bayi. Watik mengikutinya dengan penuh keingintahuan.
“Oh, sedang tidur!” seru Yuni ketika mendekati kotak bayi yang berkelambu.
“Cantik ya?” kata Watik pelan, agar tidak mengganggu bayi itu.
Yuni mengangguk dengan senyum.
Karena yang ingin digoda masih tidur terus, beberapa saat kemudian mereka sudah berada di ruang tamu kembali.
“Tik, menurut Bu Santi, sebaiknya aku segera ke Jakarta. Ini kan sudah akan liburan! Bagaimana?” tanya Yuni sesudah mereka duduk.
“Ya, saya rasa itu amat baik. Sekarang, Bu Santi mana, Yun?”
“Sedang pergi. Tapi katanya sih tidak lama.”
“Tapi, saya merasa berat meninggalkan bayiku itu, Tik.Gimana ya… aku jadi bingung!” Yuni berkata dengan nada sendu.
“Kamu mau mengasuhnya, Yun?”
“Ya, tidak mungkinlah. Bagaimana aku bisa tetap kuliah kalau aku mengasuhnya.” “Ya.. kalau begitu… kamu tahu sendiri jawabannya, kan?”
“Memang sih, Bu Santi juga bilang, sangat wajar jika aku merasa berat meninggalkannya, karena aku adalah perempuan yang mengandung dan melahirkannya. Ia adalah darah-dagingku sendiri.”
Watik mengangguk, dan matanya langsung terarah pada Santi yang akan memasuki rumah.
“Eh, Mbak Watik… sudah lama?” sapa Santi saat mendekati mereka.
“Ya, belum begitu lama, Bu,” jawab Watik sambil menerima uluran tangan Santi.
“Sudah lihat si kecil?” tanya Santi sambil duduk di kursi dan mengurai senyum.
Watik mengangguk, dan menyusulkan jawaban, “sudah, Bu.” .
Sesudah mereka berbicara dengan panjang lebar mengenai keadaan bayi, Santi menyinggung perihal keinginan Yuni ke Jakarta.
“Iya, Bu. Tadi juga sudah saya ungkapkan pada Watik,” sahut Yuni.
“Ini memang saat yang tepat, Bu. Sudah mulai libur,” sambung Watik.
“Kalau begitu, ya tinggal cari tiket saja, kan?”
Watik dan Yuni diam. Berpikir.
“Tentang bayi itu selanjutnya, kita bicarakan sesudah Mbak Yuni pulang dari Jakarta,” kata Santi seolah menebak pikiran mereka.
“Maksud ibu?” tanya Yuni yang memang tidak mengerti.
“Begini.. nanti kan Mbak Yuni melanjutkan kuliah. Berarti, tidak bisa mengasuh bayi itu, kan?”
“Iya, Bu…”
Yuni merancangkan seminggu lagi akan berangkat ke Jakarta.
*****************************
“Di Jakarta?” seru ibu Yuni sungguh tidak mengerti.
“Loh… Ibu tidak mengetahui?” tanya Dewi sungguh lebih tidak mengerti.
“Dik… sebelum ke sini tadi, di bandara saya telepon Yuni. Ia bilang, sedang ujian, dan meminta saya tidak usah mampir ke sini. Nah, karena pertemuan baru nanti sore, saya putuskan untuk tetap mampir. Biarlah hanya bertemu sebentar.. dan menunggu.”
“Jadi, Ibu tidak tahu…” kata Dewi sekali lagi dengan roman muka terheran-heran.
“Tidak. Selama ini saya tidak tahu kalau Yuni tidak di sini lagi, karena…” Ibu Yuni tidak melanjutkan bicara. Bingung.
“Waktu itu.. Yuni mengatakan akan kursus bahasa Jerman, Bu,” jelas Dewi dan sekilas teringat Watik yang menggebu-gebu untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya ditujukan pada Yuni.
“Dik Watik ke mana?” tanya ibu Yuni kemudian dan dalam hati menduga ada persekongkolan antara Watik dan anaknya.
“Pergi. Tapi… saya tidak tahu ke mana. Akhir-akhir ini memang ia sering pergi. Tapi ia tidak pernah bicara terus-terang ke mana perginya.”
“Jadi, ia selalu mengatakan kalau Yuni di Jakarta?”
“Iya, Bu,” kata Dewi sambil mengangguk.
“Pada hal.. selama ini kalau telepon Yuni, sepertinya biasa saja. Tapi..” Ibu Yuni terdiam dan mengambil nafas dalam-dalam. Ia menyesali ketidakcermatannya pada hari-hari yang lampau. Dewi juga diam. Tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Dahulu.. entah berapa bulan lalu.. saya berkunjung ke sini..”
“Ibu pernah ke sini?” tanya Dewi ketika ibu Yuni tidak melanjutkan kata-katanya.
“Iya”
“Siapa yang menerima Bu?”
“Dik Watik…”
“Lalu?” kejar Dewi, karena ibu Yuni sepertinya tidak ada semangat untuk berkata.
“Dik Watik mengatakan bahwa Yuni sedang live-in di Purworejo.”
“Aduh, si Watik.. mengapa ia berani berbohong begitu ya. Bukan hanya pada saya. Tapi juga pada Ibu!” kata Dewi sambil memandang ibu Yuni.
“Ya.. sama saja dengan anakku. Yuni malah lebih banyak bohongnya melalui telepon dan SMS-nya. Saya sungguh tidak mengerti… ada apa? Apakah arti semua ini…? Mengapa…?” Ibu Yuni mengakhiri perkataannya dengan geleng-geleng kepala dan menggigit bibir bawahnya.
“Kita tunggu Watik saja, Bu,” sahut Dewi, dan kemudian berseru lebih untuk dirinya sendiri, “Watik.. Watik..” Ia menjadi benci pada Watik.
*******************************
Watik mematikan motornya, dan memarkirnya di depankost-nya. Bila bisa bersiul dengan merdu, ingin sekali ia menyiulkan nada lagu gembira. Hatinya berbunga-bunga, karena ujian sudah selesai, dan urusan Yuni pun tinggal menunggu keberangkatannya ke Jakarta. Lega! Ia melangkah ke rumah yang pintunya terbuka lebar. Ia menduga Dewi sudah pulang dari ujian.
Di pintu, tatapan matanya tertumbuk pada seorang perempuan yang duduk di ruang tamu bersama Dewi. Mata perempuan itu juga menatapnya. Betapa terkejutnya Watik. Ia urung melanjutkan langkah, terpaku di pintu. Ia tidak tahu mau berbuat apa. Mau maju, ia tahu dengan persis perempuan yang kedatangannya sungguh tidak diharapkan itu. Mau mundur, sudah terlihat oleh perempuan itu. Ia menundukkan kepala.
“Watik!” seru Dewi kemudian sambil menatap Watik.
Dengan cepat Watik berusaha mengendalikan diri, dan melangkah mendekati mereka. Ia duduk persis di hadapan perempuan yang membuatnya terkejut itu.
“Ibu… ibu Yuni?” tanyanya persis waktu ia menyambut ibu itu beberapa bulan sebelumnya. Ia tidak menemukan kata-kata lain untuk mengawali bicara. Ia siaga untuk menerima kemarahan besar dari perempuan yang pernah dibohonginya itu.
“Betul,” jawab ibu Yuni singkat dengan suara datar.
Semua diam. Hal ini memang sudah dirancangkan oleh ibu Yuni dan Dewi. Ibu Yuni mengajak Dewi agar jangan berlaku keras pada Watik, karena ia melihat gelagat Dewi sepertinya marah sekali pada Watik.
“Ibu.. saya minta maaf!” kata Watik kemudian sambil sekilas menatap ibu Yuni.
“Ada apa sebenarnya, Dik?” tanya ibu Yuni dengan suara pelan.
Pernyataan itu sungguh di luar dugaan Watik. Ia mengira ibu Yuni akan langsung memarahinya.
“Dewi, saya juga minta maaf!” kata Watik yang belum menanggapi pertanyaan ibu Yuni, sambil menatap Dewi.
Dewi menghindari tatapan Watik, dan mengarahkan pandangan ke tembok. “Uh, minta maaf. Enak aja!” seru Dewi dalam hati.
“Begini Bu.. “ kata Watik kembali ditujukan pada ibu Yuni. “Ceritanya amat panjang.”
Ibu Yuni tidak bereaksi. Diam menunggu.
Melihat itu, Watik melanjutkan dengan berkata mengalir agak cepat, karena takut dipotong oleh ibu Yuni, “Yuni hamil dan sudah melahirkan!”
“Yuni?” seru ibu Yuni sambil melotot pada Watik. Duduknya menjadi tidak tenang. Ia belum bisa percaya pada berita yang baru saja didengarnya itu.
“Iya, Bu,” jawab Watik sambil mengangguk, dan melanjutkan, “itulah, maka saya berbohong pada ibu.. dan juga pada semua yang bertanya tentang Yuni.”
“Bagaimana ceriteranya bisa sampai begitu?” tanya ibu Yuni dengan nada tak bersemangat, tapi sangat ingin tahu.
Kemudian Watik menceriterakan perihal Yuni, sejak pembicaraan di candi Sambisari sampai keberadaannya di penampungan dan melahirkan.
“Jadi, baru dua minggu ini melahirkan?” tanya ibu Yuni kemudian.
“Iya Bu. Dan rencananya minggu depan pulang ke Jakarta.”
“Kalau begitu… apakah bisa mengantar saya ke sana, sekarang?” tanya ibu Yuni dengan tidak sabar dan nada yang sudah biasa.
Watik mengangguk sambil berkata, “ya, Bu.”
“Wi… ikut tidak?” tanya Watik pada Dewi, yang semenjak tadi tampak tidak simpatik pada Watik.
Dewi lagi-lagi membuang muka, lalu berdiri dan langsung menuju ke kamarnya.
Ketika bersama ibu Yuni keluar rumah, sayup-sayup Watik mendengar Dewi berkata dari dalam kamar, “tega-teganya membohongi saya. Dasar pembohong! Pembual! Psikolog gila!”
*****************************
Tidak lama sesudah Watik pergi, Yuni menangis tersedu-sedu di hadapan Santi.
“Bu… mama saya pasti akan tahu…”
“Apakah pasti mampir?” tanya Santi yang baru saja mendengar dari Yuni tentang rencana ibunya datang kekost-nya.
“Saya yakin Bu. Meskipun… Bagaimana Bu?” tanya Yuni penuh harap.
“Tenang. Tenang saja Mbak Yuni. Saya akan membantu memberi penjelasan.”
“Jadi… Ibu akan membiarkan mama saya tahu?”
“Mbak Yun… kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi… Kalau nanti ibu Mbak Yuni datang ke kost dan bertemu Mbak Watik, tentunya Mbak Watik juga tidak mungkin bisa bohong lagi kan?”
“Jadi…” seru Yuni dan dilanjutkan dengan menangis tersedu-sedu.
Santi berdiri dan mendekati Yuni, lalu memegang bahunya dengan kasih.
Sesudah Yuni berhenti menangis, Santi berbisik, “saya akan bantu Mbak Yuni. Saya akan jelaskan pada ibu Mbak Yuni tentang semua ini. Tidak usah kawatir!”
“Iya Bu,” jawab Yuni dan perlahan melepaskan tangan Santi dari bahunya.
Santi kembali ke kursinya, lalu berkata, “sekarang tenangkan pikiran Mbak Yuni!”
“Tapi, kalau ibu saya marah-marah?” tanya Yuni kembali mengungkapkan ketakutannya.
“Saya akan ikut bertanggungjawab Mbak…. Ini juga tanggungjawab saya, Mbak. Ini juga resiko saya bila membantu seseorang menyelamatkan hidup manusia baru,” hibur Santi dan sungguh menyadari apa yang dikatakannya.
Mendengar jawaban itu, Yuni menjadi tenang, dan merasa siap untuk menerima kedatangan ibunya.
“Apakah saya harus menelepon mama saya, Bu?”
“Menurut Mbak Yuni bagaimana?”
Yuni diam. Bingung. Ia tidak tahu pilihan mana yang baik.
“Menurut saya, tidak perlu. Nanti juga akan tahu sendiri dari Mbak Watik,” saran Santi. Berkata begitu, karena dalam hati Santi berharap, bahwa ibu Yuni membatalkan rencana kedatangannya ke kost Yuni. Ia mengadu keberuntungan.
“Sekarang Mbak Yuni istirahat dulu saja. Tenangkan pikiran!” kata Santi sesudah agak lama Yuni hanya diam. Sesudah menepuk-nepuk bahu Yuni, iameninggalkan Yuni.
Dalam kesendirian, Yuni duduk termangu. Pandangan matanya yang sembab dilemparkannya ke halaman rumah menerobos kaca jendela. Kemudian ia berdiri dan melangkah ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjangnya. Sebentar kemudian, ia keluar dari kamarnya menuju kamar tempat anaknya dibaringkan. Anaknya masih tertidur nyenyak.
Marsih, pengasuh yang setia, sedang menjaga si buyung. Dari Santi, ia sudah mendengar kemungkinan kedatangan ibu Yuni. Yuni berlutut di samping kursi tempat Marsih duduk dan memandangi anaknya. Air matanya bertitik-titik menjelajahi pipinya. Masih tetap duduk di kursi, tanpa bicara, Marsih memijit-mijit bahu Yuni. Ia bermaksud menyalurkan kekuatan pada Yuni. Ia sudah biasa menghadapi ibu muda yang memang seharusnya belum waktunya, seperti Yuni itu.
Sambil menyeka air matanya, Yuni bangkit berdiri dan kembali ke kamarnya. Dihempaskannya tubuhnya ke ranjang. Matanya memandang langit-langit. Ia bingung. Bagaimana ia akan menghadapi ibunya. Apa yang harus dikatakan pada ibunya? Ibunya akan berbuat apa terhadap dirinya? Apakah ibunya masih mau mengaku dirinya sebagai anaknya? Bagaimana pula Watik menghadapi ibunya? Dan betapa kasihan Watik, apa bila ibunya memarahinya, pada hal Watik sudah berkurban demikian besar demi dirinya! Semua pertanyaan itu silih berganti menusuk-nusuk kepalanya, sehingga kepalanya terasa berdenyut-denyut, dan seakan-akan ada batu berat di atas kepalanya.
*****************************
“Mbak Yuni!,” panggil Santi pelan sesaat sesudah mengetok pintu kamar Yuni.
“Ya, Bu,” jawab Yuni pelan sambil turun dari ranjang. Yuni mengira bahwa ibunya sudah datang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berani berhadapan dengan ibunya. Ia sudah pasrah terhadap kemungkinan perkataan dan tindakan ibunya. Ia menyadari sudah tidak ada harganya lagi di hadapan ibunya. Sampah!
Sesudah sejenak merapikan rambutnya yang awut-awutan dengan jemari tangannya, ia melangkah menuju pintu. Sekilas telinganya mendengar suara Watik. Ia sudah yakin, bahwa ibunya datang. Jantungnya berdetak kencang bertalu-talu dalam dadanya. Dengan pelan-pelan sekali ia membuka pintu. Pintu terbuka. Dilihatnya, ibunya, Watik dan Santi duduk di ruang tamu.
Melihat Yuni di pintu, ibunya berdiri, dan berseru lirih, “Yuni!”
Tanpa bersuara Yuni berjalan menuju ibunya yang juga sudah berdiri dan bergerak mendekatinya sambil merentangkan tangan untuk menerima anaknya. Ibu dan anak itu saling berpelukan erat, dan suara isak tangispun menggema dalam ruangan yang sunyi-senyap itu.
Watik dan Santi menyaksikan adegan itu dari tempat duduk dengan perasaan haru. Keduanya tidak menduga kenyataan perjumpaan seperti itu.
Yuni dan ibunya agak lama saling berpelukan dalam tangis
“Mama.. Yuni bersalah, Ma!” seru Yuni kemudian dan masih dalam rangkulan ibunya, ketika tangis mereka mulai mereda.
“Semua sudah terjadi anakku!” jawab ibunya sambil tangannya menepuk-nepuk punggung Yuni.
“Yuni sudah membohongi Mama,” kata Yuni lagi dan dalam hati merasa tenang karena sikap ibunya amat jauh dari yang dibayangkan sebelumnya.
“Sudah… sudah! Ayo duduk di kursi,” kata ibunya sambil melepaskan rangkulan, dan membimbing Yuni ke arah Watik dan Santi.
“Bu Santi dan Dik Watik… terimakasih sekali atas bantuan yang begitu besar untuk Yuni. Dan sekaligus minta maaf, Yuni sudah sangat merepotkan,” kata ibu Yuni kemudian sesudah duduk dan mengusap matanya yang masih sembab dengan sapu tangan.
“Ah.. sama-sama Bu. Bagi kami sudah biasa,” jawab Santi dan diangguki oleh Watik.
“Sekali lagi, saya sungguh berterimakasih. Bu Santi dan Dik Watik bukan kerabat kami… tapi…” kata ibu Yuni yang suaranya semakin bergelombang itu terhenti, dan kedua matanya berkaca-kaca kembali karena terbayang pengurbanan Santi dan Watik selama Yuni mengandung sampai melahirkan.
“Sudah Ibu… tidak usah dipikirkan! Yang penting, sekarang Mbak Yuni dalam keadaan baik,” sambung Santi merendah.
Hening. Tidak ada yang bicara. Masing-masing sibuk dengan perasaan dan pikirannya sendiri.
Tiba-tiba keheningan mereka dipecahkan oleh tangisan bayi dari kamar.
Yuni bergegas berdiri dan melangkah ke kamar bayi. Watik mengikutinya.
“Ngompol, Mbak Yuni,” kata Marsih yang sedang sibuk mengganti popok si bayi.
Ibu Yuni dan Santi pun menyusul.
Berdiri di samping Yuni dan menggandeng lengannya, ibu Yuni memandangi bayi yang sedang menangis itu.
“Nah beres.. ayo tidur lagi, sayang!” kata Marsih sesudah selesai mengganti popok.
Si bayi pun berhenti menangis dan langsung terlihat terlelap kembali.
“Bu Marsih, ini mama saya,” kata Yuni kemudian.
Marsih buru-buru menyalami ibu Yuni dengan taksim.
“Bu Marsih inilah Ma, yang mengasuh bayiku,” kata Yuni menjelaskan.
“Terimakasih banyak, Bu!” seru ibu Yuni dengan senyuman mengembang.
Santi mengajak mereka keluar dari kamar supaya tidak menganggu tidur si bayi. Sementara itu, Marsih tetap berjaga di kamar itu.
“Sekarang, saya tidak tahu tentang rencana putera Mbak Yuni selanjutnya. Tadi.. ya tadi pagi baru kami bicarakan tentang kemungkinan pengasuhannya. Tapi, karena sekarang ibu Mbak Yuni sudah tahu.. saya tidak tahu apakah ada perubahan…” kata Santi setelah mereka kembali berada di ruang tamu.
“Ya.. karena selama ini pihak Ibu Santi sudah banyak membantu kami, dan bayi itu bagaimana pun adalah cucu saya. Maka.. kalau diperbolehkan bayi itu akan saya ambil.”
“Ma..” seru Yuni tidak berlanjut dan menatap tajam ibunya.
“Kamu jangan kawatir Yun! Bayi itu tidak akan saya asuh di rumah kita. Mama paham, pasti Yuni akan malu jika tetangga tahu. Saya baru pikir-pikir untuk itu. Tidak usah kawatir!”
“Kalau memang itu keinginan Ibu, kami tidak mempersoalkan,” kata Bu Santi sambil sekali lagi berpikir bahwa sikap ibu Yuni di luar dugaannya.
“Di mana, Ma?” tanya Yuni penasaran, dan lupa sama sekali bahwa belum satu jam yang lalu ia amat ketakutan pada ibunya.
“Di Cianjur! Di rumah pamanmu, Om Agung.”
Seketika itu Yuni ingat pada pamannya yang hanya mempunyai seorang anak.
“Tapi ini memang harus Mama bicarakan dulu. Mama sih yakin.. ia menerima,” jawab ibu Yuni lebih ditujukan pada Yuni.
“Menurut Bu Santi, usia berapa seorang bayi bisa dibawa pergi jauh?” tanya Watik yang dari tadi diam, karena memang ia merasa tidak ada celah tepat untuk bicara. Maka ketika tidak ada yang bicara lagi, ia mulai bersuara.
“Satu bulan, bisa,” jawab Santi.
“Kalau begitu, tidak bisa minggu-minggu ini, ya Bu?” tanya ibu Yuni yang juga mau menanyakan hal yang sama.
“Lebih baik.. tunggu dulu saja Bu,” jawab Santi.
Ibu Yuni mengangguk.
“Mama, sore ini ada pertemuan?” Yuni mengingatkan agenda ibunya
“Mama batalkan!” sahut ibu Yuni singkat.
“Mengapa Ma?” tanya Yuni lagi.
“Demi Yuni. Lagian, sudah ada teman Mama yang ikut pertemuan itu.”
“Ibu juga bisa menginap di sini. Tapi ya tempatnya ala kadarnya.,” kata Santi menawarkan kemungkinan bila ingin bermalam.
“Terimakasih. Saya memang ingin sekali, sekaligus melihat cucu, asalkan tidak merepotkan,” jawab ibu Yuni dengan rasa senang.
“Oh, tidak. Ada beberapa kamar kosong,” kata Santi dengan tulus.
**************************
Berulang kali Watik mengetok pintu rumah kost-nya dan memanggil-manggil Dewi. Tidak ada tanda-tanda Dewi keluar dari kamarnya. Watik duduk di kursi di teras. Menunggu. Ia menduga bahwa Dewi marah padanya. Hal itu nampak dari sikap Dewi sejak tahu bahwa selama ini ia selalu dibohonginya.
Tadi siang, karena dalam keadaan tegang, ketika pergi bersama ibu Yuni, Watik lupa bahwa kunci pintu rumah tertinggal dalam tas yang diletakkan di kursi tamu. Ia menyesal akan kealpaannya sendiri. Akhirnya ia harus duduk menunggu.
Ia tahu bahwa Dewi berada dalam kamar. Dari kisi-kisi jendela, tampak lampu kamar Dewi menyala, dan suara radio lirih terdengar dari kamar itu. Ia tidak berniat memanggil lagi. Ia bertekad akan menunggu sampai Dewi keluar dari kamar dengan sendirinya.
Sementara menunggu, Watik memutar otak untuk mencari cara-cara menghadapi Dewi yang sedang marah, dan menjelaskan duduk persoalannya. Ia yakin bahwa Dewi akan memahami alasan-alasan kebohongannya, seperti ibu Yuni, sehingga tidak marah.
Sekitar setengah jam kemudian, Watik mendengar pintu kamar Dewi dibuka.
“Wi!” teriak Watik dibuat sebiasa mungkin dengan harapan Dewi membukakan pintu.
Harapan Watik sia-sia, karena beberapa saat kemudian Watik mendengar suara pintu kamar mandi ditutup dengan hentakan keras, lalu samar-samar terdengar suara air mengucur dari kran.
Hari sudah gelap.
Lagi-lagi Watik menunggu dengan sabar.
Ketika terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Watik ke depan pintu, mengetuknya sambil berkata dengan suara agak keras, “Wi.. tolong bukakan pintunya, dong!”
Terdengar langkah kaki mendekati pintu.
Dewi hanya memutar kunci dan dalam diam Dewi langsung menuju ke kamarnya, sehingga Watik tidak sempat menyapa.
Dengan perasaan menjadi tidak enak, Watik masuk. Ia mengambil kunci di dalam tas di kursi tamu dan menuju kamarnya. Ia ingin mandi dulu dan baru kemudian menemui Dewi.
“Wi!” seru Watik sesudah mandi dan merapikan diri, di depan pintu kamar Dewi.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu Dewi terbuka sedikit saja. Karena terbukannya pintu tidak kunjung melebar, Watik mendorongnya lagi agar tubuhnya bisa masuk dengan leluasa.
“Wi.. kamu marah sama saya ya.. kok diam saja..” kata Watik ketika sudah berdiri menghadap Dewi yang berbaring di ranjang dengan kepala berbantal tiga. Ia membaca sebuah majalah, sehingga mukanya tertutup.
“Itu tahu!” jawab Dewi singkat dan ketus tanpa merubah sikap bacanya dan dengan nada tidak bersahabat.
“Saya ingin menjelaskan, Wi, mengapa selama ini harus bohong terus tentang Yuni…”
Udah.. udah.. pergi sana! Saya tidak mau dengar. Katanya sahabat, kok berbohong. Saya sudah tidak percaya lagi. Lebih baik urusi si perempuan nakal itu!” potong Dewi masih tidak merubah sikap bacanya.
“Wi, dengarkan pen…”
Udah deh, saya tidak mau dengar!” potong Dewi sambil menurunkan majalahnya dan kemudian tatapan benci disorotkan pada Watik.
“O, ya sudah..” kata Watik yang lalu keluar dari kamar Dewi. Ia tidak ingin memancing kemarahan Dewi semakin besar.
Tapi niat hatinya untuk tidak memperparah situasi tidak sejalan dengan tindakan fisiknya. Watik menutup pintu kamar Dewi dengan menariknya keras. Brak! Sekonyong-konyong ia menjadi amat jengkel, karena diperlakukan Dewi bagaikan musuh. Ia tidak bisa menerima sikap dan perlakuan seperti itu. Ia juga menjadi marah.
Baru saja ia mau membuka pintu kamarnya, Dewi keluar dari kamar dan berteriak ke arahnya dengan tatapan tajam, “mau ngapain sih? Kalau tutup pintu itu pelan-pelan! Dasar!”
Sambil tangan kanannya masih memegang gagang pintu, Watik juga menatap tajam Dewi. Tatapan kemarahan mereka saling bertemu. [Orang bisa marah itu wajar loh! Bahkan ada yang mengatakan, “marah itu sehat”. Jadi, kemarahan itu rasanya bukan soal, dengan syarat: 1. ada alasan yang mendasar alias benar dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral 2. tidak merusak (diri sendiri, orang lain, binatang ataupun barang lainnya) 3. ada kemauan untuk membangun situasi menjadi lebih baik 4. tidak berlarut-larut dalam kemarahannya itu, sampai seolah-olah tak ada jalan lain lagi 5. etc. Jadi, mau marah? Silahkan! Boleh-boleh aja! Bahkan kalau orang tidak bisa marah, katanya malah berbahaya. Katanya lagi, sebenarnyabukannya tidak bisa marah, tetapi tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu. Sekali lagi, ini katanya. Nyatanya? Silahkan periksa dalam pengalaman!].
“Nantang, ya?” seru Dewi dengan bibir bergetar dan tanpa mengedipkan mata.
“Siapa yang nantang?” seru Watik yang kemarahannya juga semakin meninggi; bagaikan nyala api disiram bensin.
“OK.. saya tidak takut berkelai dengan kamu. Kita sama-sama perempuan! Ayo..” kata Dewi sambil mendekati Watik tanpa mengalihkan pandangan.
Jantung Watik berdetak cepat ketika Dewi semakin mendekatinya. Namun ia juga tetap menatap mata Dewi dengan tajam. Kemarahannya pun memuncak. Wajah mereka saling berdekatan dengan mata sama-sama terbakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala.
“Oh, tidak! Saya tidak mau ribut,” kata Watik tiba-tiba sambil mengusap mukanya dengan jemari tangan kirinya. Tampaknya, ia berusaha mengendalikan diri.
“Takut, ya?” tanya Dewi masih menantang karena mengira lawannya menyerah kalah sebelum bertanding.
“Tidak ada gunanya. Saya hanya ingin menjelaskan perihal Yuni. Kalau kamu tidak mau dengarkan, ya sudah.,” kata Watik dan kemudian bergerak mau masuk kamar.
“Jelaskan sekarang juga!” kata Dewi dengan nada sebagai pemenang.
“Jangan di sini! Ayo masuk kamarku … atau kamarmu?”
Karena tak ada jawaban, Watik masuk ke kamarnya dengan membiarkan pintu tetap terbuka. Kemudian ia duduk di ranjang menghadap ke pintu dan Dewi pun sudah berkacak pinggang di pintu.
“Masuk!” pinta Watik dengan suara biasa.
Dewi masuk dan menutup pintu, lalu duduk di kursi depan meja belajar Watik. Tegangan kemarahannya sudah tampak sedikit menurun.
“Kamu dengar, kan penjelasan saya pada ibu si Yuni tadi siang?” Watik mengawali penjelasan dengan pertanyaan.
“Dengar, emangnya kenapa?” sahut Dewi masih dengan nada tidak enak didengar.
“Saya berbohong pada semua orang, termasuk pada ibu Yuni dan kamu, karena melindungi Yuni agar ia tidak malu. Terlebih lagi agar ia tidak menggugurkan janin, atau ia sendiri pernah mengatakan bunuh diri jika sampai ada orang lain yang tahu.” Watik berkata sambil dalam pikirannya terbersit, “kalau ia paham, tentunya sudah siang tadi ketika ia menjelaskan hal yang sama pada ibu Yuni. Bodoh aku! Mungkin percuma saja aku berbiacara lagi. Tapi, ya.. siapa tahu?”
“Kamu itu sok pahlawan, Tik! Ngapain ngurusin Yuni? Itu kan salah dia sendiri. Siapa suruh jadi cewekgampangan? Kalau dia hamil, biarin aja! Mau digugurkan kek, mau bunuh diri kek, bukan urusanmu! Kamu malah memilih melindungi orang jahat, dan membohongi orang-orang tidak bersalah.Dengar Tik, dengan melindungi orang jahat, kamu juga jadi penjahat! Ya, kan?”
“Kamu tidak kasihan kalau masa depan Yuni hancur-lebur?”
“Ih, ih, ngapain kasihan? Sudah kukatakan, salah dia sendiri, kan? Itu namanya karma. Mau berbuat, harus mau bertanggungjawab akan akibatnya. Masa, mau enaknya saja, susahnya tidak mau.. fair dong!”
Mendengar kata-kata Dewi, sejenak Watik tertegun. Pemahaman Dewi amat jauh berbeda dengan pemahamannya.
“Masalahnya, kalau Yuni tidak dibantu, ia akan menggugurkan bayinya. Ia sedang kalut, Wi!” kata Watik masih memberikan pertimbangan lain atas tindakannya.
“Ah, itu kan urusan dia!”
“Wi.. menggugurkan janin itu sebuah dosa besar. Itu sama dengan membunuh manusia. Jadi..”
“Loh, kalau misalnya digugurkan, apakah kamu yang menggugurkan?” tukas Dewi ketika Watik belum selesai bicara.
“Ya, bukan!” jawab Watik dan kembali menjadi jengkel.
“Jadi, untuk apa pusing amat sih? Kalau memang ia mau menggugurkan, ia sendiri yang menanggung dosanya. Ngapain ikut repot? Tik… aku sebenarnya sangat menyayangkan kamu. Kita sudah bersahabat sejak semester satu sampai enam… tiga tahun.. Selama ini saya berpikir, kamu adalah sahabat sejati: baik, jujur, ramah.. eh, ternyata kamu pembohong besar. Selama ini aku mempercayai kamu, tetapi ternyata kamu malah membohongi saya. Di manakah nilai kesungguhan persahabatan kita? Hanya gara-gara Yuni yang murahan itu, lalu kamu menjadi pembual… .”
Watik berusaha menghapus kejengkelannya dan kembali mencoba, “Wi, dengar dulu penjelasanku! Saya berbohong, karena ada yang mau saya perjuangkan. Ada sesuatu yang lebih utama yang membuat aku memutuskan untuk berbohong. Ada yang perlu dibela!”
“O, jadi kamu menukar persahabatan kita dengan membela orang jahat, gitu?” Dewi memandang Watik. Ia tidak (berusaha) memahami perkataan Watik.
“Bukan begitu, Wi..” jawab Watik setengah putus asa.
“Lalu?”
“Hidup. Kehidupan manusialah yang saya bela.”
“Ih, idealis! Sudah jangan banyak pembelaan! Namanya pembohong, ya tetap berbohong,” kata Dewi seolah membuat kesimpulan yang tidak bisa diubah lagi.
Watik menarik nafas panjang. Ia sangat heran. Itu sungguh di luar dugaannya, Dewi tidak bisa menerima penjelasannya.
“Ya sudahlah, Wi. Saya memang nyata-nyata sudah membohongimu. Saya minta maaf! Memang, tindakan itu saya lakukan dengan sangat terpaksa. Jadi mau apa lagi. Yang jelas, tujuannya bukan untuk mengkhianati persahabatan kita selama ini.”
Watik mengulurkan tangan ke Dewi. Dengan ogah-ogahan dan tanpa menatap Watik, Dewi menyambutnya.
“Tapi…” Watik ragu-ragu untuk melanjutkan bicaranya.
“Apa lagi?” sahut Dewi dengan ketus.
“Saya ada satu permintaan kepadamu.”
“Apa?”
“Tolong, jangan ceriterakan perihal Yuni pada siapa pun!” pinta Yuni dengan suara pelan, sepertinya tidak ada pengharapan terkabulnya permintaannya.
“Tik… kamu mau ngajarin aku untuk berbohong, he?” tanya Dewi dengan suara meninggi.
“Wi.. tolong! Ini demi Yuni agar ia tidak malu, dan bisa melanjutkan kuliah dengan lancar!” pinta Watik dengan sangat.
“Saya tidak mau jadi pembohong. Saya mau jadi orang jujur. Hitam katakan hitam, dan putih katakan putih. Titik! Tahu?” kata Dewi dengan memelototi Watik.
“Ya sudahlah… itu hanya permintaan saya. Kalau memang kamu tidak mau, saya pun tidak akan memaksamu.”
“Sudah?” tanya Dewi sesaat sesudah Watik berhenti.
“Ya, sudahlah!” kata Watik tidak bersemangat, karena merasa sulit sekali mempengaruhi Dewi.
Tanpa bicara, Dewi meninggalkan Watik.
Sesudah menutup pintu, Watik duduk di kursi depan meja belajarnya. Dagunya ditopangnya dengan kedua tangannya yang tersandar di meja. Ia merenungkan kejadian-kejadian dari pagi sampai malam. Hari itu ia rasakan menit-menitnya sangat berarti, meskipun ditutup dengan persoalan yang rumit dengan Dewi. Hari itu ia amat bergembira, karena ujian sudah selesai dan mendengar rencana Yuni hendak ke Jakarta. Tiba-tiba hari itu juga ia amat terkejut dan tegang ketika melihat ibu Yuni di tempat kostnya. Hari itu juga ia tidak menyangka bahwa ibu Yuni tidak memarahinya, dan lebih tidak menyangka lagi, Yuni dan ibunya berpelukan dalam kasih yang mengharukan. Tapi, hari itu juga Dewi sangat marah kepadamya, dan ia pun sempat terpancing untuk ikut marah. Hal terakhir ini membuat ia bingung. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Dewi menjadi paham. Ia cemas bahwa Dewi akan memberitahukan perihal Yuni pada teman-teman kampusnya. Ia takut bahwa kemudian Yuni mungkin akan tidak tahan mendengar reaksi teman-temannya.
Masih dalam ketidakpastian akan sikap dan pendirian Dewi selanjutnya, ia bangkit dari duduknya dan merebahkan diri di tempat tidur. Sambil tiduran ia membawa seluruh pernik pengalaman hari itu kepada Tuhan. Ia menyerahkan segala yang sudah dipikirkan dan lakukan demi Yuni selama ini dan akibat-akibatnya –salah satunya tersinggungnya Dewi–, kepada Tuhan. Ia yakin, biarpun tanpa diketahuinya dengan pasti, entah bagaimana, Tuhan (akan) mendampingi Yuni, Dewi dan dirinya sendiri dalam menghadapi kenyataan hidup.
***********************************
“Mamamu sedang ke mana, Yun?” tanya Watik ketika paginya mengunjungi Yuni.
“Baru saja dengan Bu Santi pergi ke pasar,” jawab Yuni dengan wajah berbinar, dan ini membuat Watik merasa bahagia.
“Bagaimana Yun… di luar dugaan, ya?”
“Apanya?”
“Tanggapan mamamu dong! Selama ini kamu takut bahwa mamamu akan marah besar.”
“Iya.. sungguh di luar dugaanku. Apa yang kutakutkan tidak terjadi. Aku sangat senang. Mamaku amat baik. Kemarin, aku sangat bingung. Pokoknya, aku sudah pasrah akan apa pun yang bakal terjadi. Bahkan Bu Santi siap membantuku jika mama marah. Syukur, semua itu tidak terjadi. Aku malah semakin menyadari bahwa mamaku sangat mencintaiku. Betapapun aku sudah ternoda oleh kesalahanku sendiri, cinta mama padaku tidak luntur…”
“Aku pun tidak menduga, Yun,” sambung Watik karena Yuni berhenti bicara.
“Oh, ya.. bagaimana saat kamu bertemu mama kemarin?”
“Aduh… mulanya aku sangat terkejut… tegang.. takut… tapi ya akhirnya di luar dugaanku.”
“Kalau begitu… kita sama dong!” sahut Yuni dengan gelak tawa.
Watik pun ikut tertawa.
“Aku jadi berpikir begini, Yun..” kata Watik sesudah mereka berhenti tertawa.
Yuni hanya memandang dan menunggu lanjutan perkataan Watik.
“Dengan demikian percuma saja kita merahasiakan kehamilanmu dari mamamu. Coba, kalau dari awal kita beritahukan saja hal ini pada mamamu, tentu kita tidak perlu berbohong,” lanjut Watik dengan nada menyesal.
“Saya yakin, Tik. Mama pasti akan terpukul, kecewa dan marah besar pada saya. Makanya, waktu itu aku mati-matian tidak mau,” sanggah Yuni.
“Ah, itu hanya perasaanmu waktu itu ajaBuktinya… saat ini sikap mamamu di luar dugaan kita?”
“Tik.. mama menjadi tidak marah, setelah mendengar penjelasanmu kemarin,” sambung Yuni.
“Yun… dari awal sejak aku masuk, mamamu bersikap lembut sama saya. Memang, ia tampak terkejut ketika aku beritahu bahwa kamu hamil. Tetapi, ia masih bersikap lembut..” jelas Watik lagi.
“Bukan begitu!” sergah Yuni.
“Bagaimana?” Watik sungguh tidak mengerti anggapan Yuni.
“Begini yang sebenarnya: kemarin, sesudah kamu pulang, mama sendiri terus terang mengatakan pada saya bahwa ia sendiri pasti akan syok berat jika tahu sejak awal. Tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku, anaknya semata wayang, hamil ketika kuliah sudah hampir selesai. Tapi karena tahunya sesudah aku melahirkan dan terlebih perjuangan kita bersama untuk menghadapi kehamilanku, ia menjadi luluh dan sebaliknya, malahan bangga!”
“Ah, yang benar aja, Yun?”
“Iya… aku tidak bohong. Mamaku sendiri yang mengatakan. Kalau tidak percaya, tanya saja sendiri!”
Watik diam, masih ragu akan perkataan Yuni yang seakan hanya ingin agar Watik tidak menyesal atas perjuangannya selama ini.
“Yang jelas perjuangan kita, oh tidak, perjuanganmu, manfaatnya amat besar. Terlebih untuk diriku. Kalau tidak ada kamu, aku amat yakin, aku sudah menggugurkan bayiku… atau berbuat lain yang lebih mengenaskan. Perkataanmu di candi dulu sungguh membuat aku siap untuk menghadapi kehamilanku secara bertanggungjawab.”
Watik diam. Ia masih merasa perjuangan untuk merahasiakan kehamilan Yuni sia-sia, karena nyatanya ibu Yuni tidak marah.
“Tik.. kamu sudah bertindak sebagai sahabat yang sejati. Ketika aku bingung tak tahu arah… kamu menuntun dan menunjukkan jalan. Tik, tidak seharusnya kamu menyesal, karena ternyata mama tidak marah pada saya. Ataukah…. kamu malah mengharapkan mama marah?” Yuni mengakhiri perkataannya dengan sentum menggoda.
Watik menjadi tergagap mendengar perkataan Yuni. Selama ini ia yang selalu meneguhkan Yuni. Sekarang menjadi terbalik.
“Tidak! Tentu saja aku amat senang mamamu tidak marah. Sorry, rupanya saya terbawa oleh perasaan bahwa rancangan yang sudah kita susun dengan rapi, tidak sesuai dengan kenyataan. Itu saja. Sampai kemarin pagi kita optimis, bahwa mamamu tidak akan tahu. Ternyata, rancangan itu buyar ketika hampir selesai. Mamamu datang dan menjadi tahu.”
“Yah, Tik… mengapa sekarang malah kamu yang menjadi bingung?” tanya Yuni.
“Tidak Yun… saya baru berpikir rupanya mamamu menjadi tahu kehamilanmu dan bisa menerima dengan lapang dada melalui proses yang amat panjang dan berbelit.”
“Betul Tik, dan kamu adalah aktor intelektualnya,” sahut Yuni dengan perasaan bangga.
Watik memandang Yuni dengan penuh tanda tanya.
“Mama sendiri bilang, tanpa Watik, semuanya tidak akan berakhir baik seperti sekarang ini.”
“Sudahlah Yun.. lupakan semua itu. Gimana rencana selanjutnya?” kata Watik mengalihkan topik pembicaraan.
“Besok bersama mama, aku akan berangkat ke Jakarta. Tapi kami akan mampir dulu di rumah nenek, di Purwokerto. Mungkin, sekitar tiga minggu aku di Jakarta. Nah sementara itu, kami akan menyempatkan pergi ke Cianjur untuk menemui pamanku.”
“Pamanmu yang akan merawat bayimu?” tanya Watik, lupa bahwa kemarin sudah mendengar hal itu dari ibu Yuni.
“Iya. Barang kali pamanku mau mengadopsi.”
“Anak kandungnya sudah besar-besar?”
“Hanya satu. Sudah SMA, kelas satu. Tahun ini, ya kelas dua. Makanya, kami akan mencoba untuk menawarkan dulu. Kalau tidak mau, mamaku masih punya pilihan lain. Tapi, saya yakin pamanku yang di Cianjur itu sangat mau. Apa lagi anak kemenakannya sendiri.”
“Aku senang Yun, mendengar rencanamu itu.”
“Oh ya, menurut mama, papaku tidak akan diberitahu dulu sampai kami tiba di rumah, di Jakarta.”
“Supaya tidak terkejut, ya?” seru Watik dengan tersenyum.
Yuni hanya mengangguk dan langsung berkata, “mau ikut ke Jakarta, Tik?”
“Tidak, lain kali saja. Oh ya, mungkin nanti kalau membawa anakmu. Sekaligus juga saya ingin berkunjung ke saudara-saudara saya di sana. Untuk saat ini saya akan liburan di kampung dulu. Saya pun ingin bersama dengan bapak dan ibuku.”
“Ala… tiap minggu kan sudah selalu ketemu,” sergah Yuni dengan tertawa.
“Ya, kalau libur kan bisa lebih puas, dan bisa membantu di sawah dan di kebun.”
“Aku jadi ingin main ke kampungmu lagi, Tik,” kata Yuni sambil membayangkan rumah Watik yang pernah dikunjunginya.
“Nanti…suatu saat.. itu bukan hal yang mustahil,”sahut Watik dengan tertawa.
Yuni membalas tertawa sambil memukul bahu Watik.
Suasana yang ceria yang pernah hilang, kembali bergulir dalam hidup mereka.
******************************
“Setelah dari Cianjur, saya ingin sekali mampir di Sindanglaya,” kata Watik dalam perjalanan dari Jakarta ke Cianjur bersama keluarga Yuni. Mereka menggunakan kendaraan pribadi. Ayah Yuni sendiri yang mengemudi.
“Di tempat siapa, Dik?” tanya ibu Yuni yang duduk di depan dan menggendong Indara –begitulah anak Yuni diberi nama–, karena kata ibu Yuni, wajahnya mirip wajah orang India.
“Ma, Watik dahulu pernah kerja di panti asuhan selama dua tahun,” sahut Yuni sebelum Watik sempat menjawab.
“Oh ya? Panti Asuhan Sindanglaya?” tanya ibu Yuni lagi.
“Iya, Bu. Ibu sudah tahu?” jawab Watik langsung bertanya.
“Tahu. Ya… kadang-kadang saya diberi tugas oleh kantor untuk menyampaikan sumbangan ke situ.”
“Ternyata ibu seorang donatur panti asuhan!” cetus Watik.
“Bukan! Saya hanya mengantarkan. Ngomong-omongtahun berapa Dik Watik ada di situ?”
“Tahun… ‘95 sampai ’97. Pertengahan ’97 saya mulai kuliah.”
“Mengapa Dik Watik dulu tidak langsung kuliah?”
“Ya, saya orang miskin Bu, sehingga harus cari biaya dulu!”
“Bohong Ma! Saya tahu ceriteranya. Dan juga meskipun di kampung, orang tua Watik tidak miskin. Apa lagi ia anak tunggal…,” sambar Yuni memberikan informasi yang beruntun. Sementara Yuni bicara, kakinya diinjak oleh Watik yang duduk di sampingnya, agar tidak meluncur terus kata-katanya..
Ibu Yuni tertawa mendengar sanggahan Yuni.
“Mengapa, Dik Watik?” ulang ibu Yuni sesudah berhenti tertawa, seolah ingin meminta ketegasan dari yang bersangkutan.
“Panjang Bu, ceriteranya. Lain kali saja, Bu!” jawab Watik berusaha menghentikan topik yang sedang dibicarakan.
“Yang jelas, menurut saya, kalau Watik dahulu langsung kuliah, kemungkinan besar tidak akan satukost dengan Yuni, dan Yuni tidak ada teman yang tepat, terutama dalam menghadapi masalah berat seperti yang sudah terjadi,” kata ayah Yuni yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan yang lain.
“Atau malah terjadi sebaliknya, Pak! Karena tidak satukost dengan saya, Yuni tidak jatuh dalam masalah! Jadi, Yuni jatuh, gara-gara tinggal bersama saya!” sambung Watik memberikan kemungkinan yang berlawanan.
Mendengar itu, semua tertawa.
Sesudah itu, suasana di mobil menjadi sunyi-senyap. Tidak ada yang memulai bicara lagi. Sudah kehabisan bahan untuk dibicarakan. Yang terdengar hanyalah deru mesin kendaraan.
Yuni sudah theklak-thekluk bagaikan ayam sakit [artinya, karena mengantuk, kepalanya miring ke sana miring ke sini. Seperti mau jatuh tapi tidak jadi]. Watik pun demikian, bahkan sampai bermimpi tentang pacarnya yang nun jauuuhh, di semenanjung Korea [bukan orang Korea, tetapi TKI yang kerja di sana]. Yang berjaga hanyalah ayah Yuni, karena ia mengemudi, dan juga ibu Yuni yang menjaga agar ayah Yuni tidak mengantuk. Sebab kalau mengantuk, apa lagi sampai tertidur bisa celaka. Sesekali, ibu Yuni memberi peringatan pada suaminya jika ada kendaraan lain yang terlalu dekat atau ada motor yang memotong jalur seenaknya ataupun kalau ada jalan meringis berlubang-lubang.
Selama dalam perjalanan, Indara tidak rewel.
****************************
Watik girang bukan kepalang karena kedatangan para saudaranya. Watik menyambut pamannya (ayah Yuni), bibinya (ibu Yuni), Yuni (kakak sepupunya) dan Watik (seorang perempuan yang belum dikenalnya), dengan gegap-gempita. Setelah menyalami mereka ketika keluar dari mobil, –lupa mengajak masuk para tamunya—ia lari ke dalam rumah memberitahu ayah dan ibunya. [Watik ini berbeda dengan Watik yang dari Jogja, teman Yuni. Kebetulan saja, namanya sama. Banyak kan nama sama di dunia ini?].
“Pak, Mbak Yuni sudah datang, Pak!” kata Watik setengah berteriak, mendekati ayahnya yang sedang memperbaiki lampu listrik di kamar.
Belum sempat ayahnya berkata menanggapi, Watik sudah berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang memasak bersama Nurlela di dapur, untuk memberitakan hal yang sama.
Ayah Yuni langsung meninggalkan pekerjaannya, menuju ke pintu depan yang pada saat itu ibu Yuni yamg masih mengemban Indara, sudah masuk diikuti oleh yang lainnya.
Ayah Watik menyambut mereka dengan tergopoh-gopoh. Watik dan ibunya pun menyusul menemui mereka di ruang tamu.
Maksud kedatangan keluarga Yuni ke keluarga Watik telah jelas, yakni mengantar Indara. Jauh hari sebelumnya, ketika ayah dan ibu Watik diberitahu kemungkinan mengadopsi anak Yuni, mereka menerima dengan senang sekali.
Ketika hari menjelang sore, keluarga Yuni berpamitan untuk pulang ke Jakarta. Sesuai dengan keinginan Watik, mereka mampir sebentar di panti asuhan Sindanglaya.
*************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musik