Minggu, 17 Februari 2013

Cerita dari Cianjur Selatan


Dukun Tanah



Tetanggaku mempunyai ladang yang ditanami padi huma di perbukitan. Aku bersama dia sering ngobrol, karena memang sering bertemu di ladang. Biasanya kami mengobrol sambil makan bekal yang dibawa dari rumah, biasanya nasi dengan ikan asin, dan juga sambil merokok buatan sendiri. Nikmat, euy! Tentu tidaklah aneh, kalau obrolan kami seputar tanah dan tanaman, karena kami memang petani. Ingin ngobrol soal presiden atau tokoh-tokoh besar lainnya rasanya itu semua jauh dari jangkauan kami.
Nah, pada suatu hari tetanggaku itu mengangkat tema obrolan tentang tanaman padinya, yang saya lihat hampir seluruhnya kuning merata, padahal belum masanya panen.
“Wah, payah! Nampaknya musim ini saya tidak akan panen!” begitu ia membuka pembicaraan.
“Iya, ya, baru umur sebulan padimu kuning semua! Kurus sekali! Mungkin karena dulu tanah atasnya digaruki semua, sehingga habislah yang subur!” kataku menanggapi dan mencoba mengingatkan ajakanku dulu agar tanah humus bagian atas tidak dikeruk dan dibuang!
“Ah, bukan itulah! Di sini sudah biasa cara kerjanya seperti itu, biar bersih benar sehingga mudah nanamnya [padi huma ditanam bijinya dengan penugal, sehingga tidak perlu disemai dulu sebagaimana padi sawah]! Begitu-tu sudah turun-temurun!” jawabnya mengulang perkataan yang sama dahulu.
“Mungkin kamu kurang doanya, kali?” candaku sambil tertawa dan menatapnya.
Ia tidak menjawab, dan hanya tertawa, karena tahu bahwa aku hanya bercanda.
“Memang beginilah liciknya orang sini!” katanya setelah berhenti tertawa dengan mimik serius.
“Maksudnya, apa?” tanyaku yang memang tidak tahu apanya dan siapanya yang licik.
“Kamu belum tahu, ya?”
Saya hanya diam, sambil menggeleng.
“Karena kamu orang baru di sini, saya beritahu kebiasaan jelek orang sini!”
Saya masih diam, belum bisa menduga arah pembicaraannya.
“Di sini, orang pada licik, pada main dukun!”
“Maksudnya, apa hubungannya dukun dengan padi?” Saya mulai mendapat celah bicara
“Ya elah.., ya jelas sekali,” sahutnya sambil tersenyum memandangku. Kiranya mungkin aku ini bodoh sekali sehingga tidak bisa melihat hubungan yang begitu jelas.
“Tanaman saya kurus semua karena dibuat orang lain lewat dukun tanah. Dukun bayaran…!”
Belum selesai ia bicara saya sudah tertawa terbahak-bahak, lalu berujar, “masa iya, padi bisa disantet!”
“Kamu boleh percaya boleh tidak! Tapi itulah yang terjadi. Saya dinakali orang, sehingga padi saya kurus!”
“Bagaimana bisa?” tanyaku masih ragu.
“Buktinya, tuh lihat! Padi si anu yang di bawah sana…” katanya sambil menunjuk kearah lembah, “…. sangat subur! Suburnya itu dipindahkan dari ladang saya ini! Saya jengkel sama dia. Kalau ketemu seperti ramah-ramah saja…”
“Jadi, maksudnya si dukun bisa memindahkan kesuburan tanah, ya!”, tukasku, menduga alur pikirannya.
“Begitulah! Itulah liciknya orang sini!”
“Kenapa, kamu tidak balas aja main dukun, sehingga kesuburan tanahmu dikembalikan atau malah ditambah dari ladang dia!”
“Ininya….” katanya sambil menjentiknya jemarinya.
“Pakai duit?”
“Ya, jelaslah! Mana mau ia bekerja kalau tak dibayar!”

Sejenak aku berdiri dan memandang ke arah ladang yang tanaman padinya sangat subur-menghijau di bawah sana. Sekonyong-konyong teringat sesuatu. Pelajaran Geografi waktu SMP!Ya jelaslah, kalau yang di bagian bawah amat subur, karena hujan telah membawa unsur hara dari tanah-tanah bagian yang lebih tinggi. Jadi, aku yakin 100 % bahwa ini bukan soal perdukunan, tetapi soal pertanahan yang alamiah.
“Saya tidak percaya sedikit pun tentang dukun tanah ini!” kataku terus terang ketika mendekatinya dan duduk sambil menggulung tembakau.
“Lah, buktinya kan jelas! Masa, yang subur hanya di tempatnya! Jelas, pasti dia pakai dukun!” sanggahnya.
“Hujanlah yang memindahkan kesuburan tanahmu ke tanahnya. Bukan dukun! Tanah-tanah yang gembur, apa lagi yang dikeruk, terbawa oleh air sampai ke ladang itu, di bawah, di lembah”
“Ah, itu karena kamu tidak percaya dukun. Yang jelas di sini, orang suka licik dengan pakai dukun. Ini dari dulu! Saya sudah hapal. Tidak mungkin lain!”
“Sebenarnya….” Saya mau berkata lebih lanjut, tapi tidak jadi, karena sepertinya percuma saja. Akhirnya saya tantang dia, “saya akan percaya pada dukun tanah itu, kalau ia bisa memindahkan kesuburan tanah dari bawah ke atas itu!”
“Ah, dia tidak akan mau kalau tidak dibayar!”
Ini jelas bukan jawaban!
“Kalau saya mau bayar, bagaimana??” lanjutku tak habis akal.
“Ya, tidak tahulah!”
Aneh, kok sepertinya ia mengelak.
“Berarti, dukun itu tak bisa bawa kesuburan ke atas sini kan? Dan tanah di bawah itu subur juga bukan karena dibawa dukun dari atas ini, kan?”
“Ah, nggak tahulah saya jadi pusing!” katanya sambil menghisap tembakau dalam-dalam.
“Sama, saya juga pusing! Kalau begitu kita makan lagi aja ya!” kataku sambil mengais-ais sisa nasi di bakul. Aku memang betul pusing, bagaimana caranya menjelaskan hal yang sederhana ini. Rupanya tidak sesederhana yang aku pikirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musik