Sabtu, 08 Agustus 2009

Surat Terbuka tentang Desa untuk Bapak Bupati Cianjur

Kepada Yth. Bapak Bupati Cianjur

Di Tempat

Salam penuh hormat dan bakti dalam persaudaraan!

Pertama-tama, saya mohon maaf, karena saya nekad membuat surat pribadi kepada Bapak Bupati. Memang saya tahu, ada sejumlah wakil yang menampung aspirasi rakyat, yakni DPRD, tetapi terus terang saja, saya lebih yakin kalau membuat surat pribadi kepada Bapak Bupati.

Kedua, isi surat ini bukan untuk permintaan sumbangan, baik finansial atau pun barang, namun lebih merupakan permenungan saya pribadi melihat dan mengalami kehidupan sosial dan ekonomi di pedesaan, secara khusus salah satu pedesaan di Cianjur, Jawa barat. Barang kali permenungan saya ini bisa juga menjadi salah satu dari banyak permenungan Bapak Bupati tentang kabupaten kita tercinta, yang tidak menjadi rahasia lagi ada banyak persoalan di sana-sini.

Ketiga, permenungan saya berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan ini, lebih didasarkan pada gejala sosial yang telah berproses sejak puluhan tahun lalu dan hingga kini tambah mengerikan, yakni urbanisasi yang tak terkendali.

Untuk tak berpanjang kata, berikut ini permenungan saya:

“Secara spontan, apa bila kita mendengar atau mengucapkan kata “desa” yang terpampang dalam benak adalah keterbelakangan, terisolir, jauh dari segala hal yang membuat hidup nyaman dan modern, dan segala macam gagasan yang terasa di luar “peradaban”. Sekilas pandangan itu memang tidak jauh amat dengan kenyataan pedesaan dewasa ini, khususnya pedesaan di Jawa Barat yang terkontraskan dengan gemerlapnya kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di kawasan ini. Dan nampaknya keadaan pedesaan yang seperti itu dipahami oleh banyak orang sebagai yang sudah seharusnya. Dengan demikian dihasilkan sebuah pandangan umum: jika ingin sukses dalam hidup harus meninggalkan desa dan mengadu untung di kota, entah untuk sementara waktu ataupun untuk selama mungkin. Hal itu memang masuk akal, bila dilihat dari berbagai gejala sebagai berikut:

- Pertanian sebagai salah satu tiang pokok kehidupan di desa –tanpa modal besar-- tidak menjanjikan perubahan hidup yang cepat.

- Pandangan tentang lebih tingginya martabat (orang) kota dari pada (orang) desa, dengan kata lain: keminderan (orang) desa.

- Lemahnya SDM masayakat desa.

- Kota, dengan segala macam cara, memang menjanjikan lebih mudahnya mencari pemenuhan kebutuhan untuk hidup dari pada di desa.

- Kota, dengan pelbagai kegiatan usahanya, membutuhkan banyak tenaga kerja yang murah.

- Tidak adanya dukungan mental ataupun material bagi orang desa untuk mengembangkan desa sehingga nyaman tinggal di desa.

Singkatnya, adanya kutub desa dan kota yang meruncing mengkondisikan orang desa untuk berurbanisasi. Apa salahnya dengan urbanisasi? Bukankah urbanisasi sungguh positif bagi masyarakat desa, baik pelakunya ataupun yang masih tinggal di desa? Bukankah rumah-rumah bagus di desa, perlengkapan-perlengkapan rumah tangga yang terhitung mahal merupakan berkah dari urbanisasi? Dan bukankah semua itu sulit diadakan oleh pemerintah dan keadaan alam setempat? Tak tersangkal, berkat perantauannya ke perkotaan banyak masyarakat desa menikmati kemudahan fasilitas hidup. Sebaliknya, bagi kota bukankah urbanisasi menyediakan tenaga kerja (yang murah)? Bukankah akan banyak orang kota yang kerepotan jika tak ada para pembantu rumah tangga atau para buruh kasar yang sebagian besar berasal dari desa? Dengan kata lain, urbanisasi merupakan jawaban tepat untuk pemerataan hasil pembangunan. Urbanisasi merupakan cara pendistribusian kemakmuran kota kepada desa. Sederhananya, orang desa pun berhak untuk memperoleh nikmatnya kue pembangunan yang kebetulan (atau terkondisikan) lebih terkonsentrasi di perkotaan. Dan lebih lagi, sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, orang bebas untuk tinggal dan bekerja di mana saja. Orang desa mau berpindah ke kota atau sebaliknya, tidak ada tempat bagi sebuah larangan.

Akan tetapi betapapun urbanisasi membawa dampak positif bagi masyarakat desa dan kota, dan juga merupakan kebebasan dasariah bagi manusia untuk berpindah tempat, nyatanya migrasi penduduk jenis ini juga menimbulkan masalah-masalah yang pelik, baik bagi pedesaan maupun bagi perkotaan.

1. Masalah Pelik Pedesaan

- Desa kehilangan tenaga-tenaga potensial dan produktif. Secara umum yang merantau ke kota adalah mereka yang tergolong pada usia produktif, sehingga perkembangan desa semakin terhambat dan menjadi semakin sangat tergantung pada perkotaan. Yang tertinggal di desa hanyalah mereka yang tidak mampu, atau mereka yang dipandang “tidak mau maju”.

- Rendahnya minat untuk bertani. Pertanian sebagai mata pencaharian pokok di pedesaan dan sebagai penyangga perkotaan semakin tidak diminati, terutama oleh kaum muda yang lebih tertantang untuk berjuang di perkotaan. Hal ini bisa berakibat fatal untuk kemudian hari. Bukan pertanian tidak ada lagi, melainkan akhirnya, sangat mungkin usaha pertanian diambil alih oleh para orang bermodal besar dari kota, dan orang desa yang tertahan menjadi buruhnya.

- Efek psikologis. Keminderan masyarakat desa atas masyarakat perkotaan semakin terpupuk. Hal ini diciptakan oleh masyarakat desa sendiri yang telah merantau ke kota (selanjutnya dalam tulisan ini disebut urbanis) dan sesekali pulang ke desa. Entah secara langsung atau pun tidak, para urbanis membuat mereka yang tetap tinggal di desa merasa bukan apa-apa dibanding mereka yang tinggal di perkotaan.

- Budaya negatif perkotaan berkembang subur di pedesaan. Para urbanis selain memberikan hasil jerih payahnya di perkotaan, juga menanamkan pada masyarakat desa budaya perkotaan yang kontra-produktif, misalnya: konsumerisme, individualisme, instanisme (tak menghargai proses), sekularisme, artifisialisme. Budaya-budaya ini menggeser-geser kearifan-kearifan yang selama ini hidup, seperti: gotong-royong, alami, tenggang rasa, religiusitas, sopan-santun dan saling berbagi.

- Urbanis gagal. Tidak semua urbanis berhasil secara ekonomis. Nyatanya keberuntungan kota tak berpihak padanya dan membuatnya pulang ke desa. Akan tetapi, mereka kembali tinggal di desa bukan dengan kesadaran untuk membangun desanya, namun sekadar meratapi kegagalannya di kota, dan “terpaksa” kembali terdampar di desa.

- Pendidikan. Pekerjaan-pekerjaan sederhana di kota yang tak terlalu membutuhkan bekal pendidikan formal, semakin mengkondisikan masyarakat memandang pendidikan formal, --terlebih pendidikan lanjutan-- tidak perlu dan buang-buang biaya. Untuk apa sekolah, apa bila menjadi pembantu rumah tangga atau buruh-buruh kasar yang juga menghasilkan uang, tidak memerlukan ijasah SD sekalipun. Hal ini akan membuat SDM masyarakat desa tetap atau bahkan semakin rendah. Mereka (semakin) belum memahami bahwa pengetahuan –yang paling lazim melalui pendidikan formal—bisa merubah hidup menjadi lebih baik (lagi).

2. Masalah Pelik Perkotaan

- Pemukiman. Kedatangan para urbanis, entah yang temporal atau pun permanen, membutuhkan pemukiman-pemukiman baru di perkotaan. Terlepas bahwa ini bisa memberi keuntungan bagi developer dan beberapa pihak lain, pemukiman yang layak, sehat dan legal para urbanis, terutama yang berpenghasilan rendah, menjadi masalah pelik di perkotaan. Bantaran-bantaran sungai, pinggiran rel KA, tanah-tanah negara yang masih kosong, dan beberapa sudut lain yang sesungguhnya bukan untuk pemukiman, merupakan lahan yang paling mungkin bagi sebagian urbanis. Betapapun, pemerintah kota berusaha menertibkan tempat-tempat itu, baik dengan cara halus ataupun kekerasan, sejauh urbanisasi berjalan terus secara tak terkendali, dan semakin banyak urbanis berpenghasilan rendah, masalah pemukiman ini hampir-hampir tak akan pernah selesai.

- Kemacetan lalu lintas. Terlepas bahwa pemerintah kota tidak (belum) mampu mengatur lalu lintas dan sarananya dengan baik, atau banyak yang sukses secara ekonomis, termasuk di dalamnya sebagian urbanis, sehingga banyak kendaraan berseliweran, atau merupakan gejala yang mencerminkan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, atau lagi merupakan pemborosan waktu, uang dan tenaga… kemacetan lalu lintas merupakan salah satu rentetan logis dari urbanisasi tak terkendali. Apabila orang dari desa tidak bertumpuk-tumpuk di perkotaan, bisa dipastikan kemacetan lalu lintas yang berdimensi luas itu, kecil kemungkinan untuk terjadi. Sejauh urbanisasi berjalan terus tak terkendali, betapapun sarana-sarana lalu lintas diperluas dan diperbanyak, tidak ada jaminan bahwa kemacetan lalu lintas yang tidak dikehendaki dan merugikan berbagai pihak itu, tidak terjadi.

- Semakin maraknya penyakit-penyakit sosial. Hal ini bukan berarti bahwa urbanisasi adalah satu-satunya penyebab timbulnya penyakit sosial perkotaan, melainkan hanya mau menandaskan bahwa urbanisasi turut memperparah penyakit itu. Perampokan, pencopetan, anak (orang) jalanan --tunawisma, pengemis dan prostitusi, premanisme dll. sepertinya sudah menjadi bagian yang yang tak terelakkan dari kota-kota besar (baca: Jakarta dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya). Nyatanya, kota mempunyai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya, terutama para urbanis. Oleh SDM-nya yang rendah, atau tak ada relasi, atau situasi-situasi yang tak baik, sebagian urbanis tidak beruntung. Para urbanis yang kebetulan tidak beruntung tapi tak ingin kembali ke desa itu, bisa terlempar ke bidang-bidang yang digolongkan penyakit sosial tersebut. Bahkan ada yang sesungguhnya beruntung, terpengaruh oleh lingkungan, sengaja menceburkan diri di dalamnya. Alhasil, penyakit-penyakit sosial perkotaan itu semakin sulit tersembuhkan, seiring dengan urbanisasi yang semakin tak terkendali.

- Ekologi. Manusia tidak terpisahkan dari alam. Ada hubungan timbal balik antara alam dan manusia. Alam menjadi media yang tak terelakkan bagi kehidupan manusia, dan pada gilirannya manusia merawat keberlangsungan alam agar tetap bisa menjadi media yang baik bagi hidup manusia. Di kota, terlebih kota besar, harmoni antara alam dan manusia terganggu. Sekedar contoh sederhana, tetumbuhan yang mengubah karbondioksida (yang merupakan limbah pembakaran manusia) menjadi oksigen (yang merupakan bahan bakar untuk manusia) sudah berkurang dan terancam semakin berkurang lagi. Mereka dikalahkan untuk kepentingan pemukiman, bisnis dan transportasi. Akibatnya, udara perkotaan dipenuhi karbondioksida dan menjadi tidak baik untuk kesehatan manusia. Tentu saja untuk sedikit mengatasinya, gagasan pembangunan kota yang ramah lingkungan (kota hijau!) adalah langkah yang baik, meskipun tak mudah. Akan tetapi, bahwa masalah tersebut juga rentetan logis dari urbanisasi juga tak bisa dilupakan.

(Analisis ini bukan anti-kota dan pro-desa, atau memandang kota itu negatif dan desa itu positif! Analisis ini hanya mau menegaskan bahwa urbanisasi yang tak terkendali menimbulkan masalah-masalah serius baik bagi kota maupun desa. Tetap disadari pula bahwa desa-desa pada saatnya –entah berapa abad lagi-- juga akan ber-evolusi menjadi kota, sehingga negara kita akan menjadi negara kota. Dan pada saat itu… kita tidak perlu bicara soal kota dan desa!.

Tanpa mengabaikan bahwa kebebasan manusia untuk bermigrasi ke mana saja, kiranya, dengan merenungkan adanya dampak-dampak negatif urbanisasi yang mengancam kemanusiaan dan lingkungan hidup, menyikapi gejala urbanisasi yang tak terkendali secara arif sangat diperlukan. Urbanisasi memang amat diperlukan oleh perkotaan untuk mengisi kekurangan jasa tenaga dan pikiran. Ini adalah hal yang sehat dan sangat bisa dipahami. Akan tetapi, bila urbanisasi menjadi tidak terkendali, kehidupan sosial baik di desa maupun di kota terganggu.

Maka dari itu, mengendalikan laju urbanisasi sesuai dengan kebutuhan kota merupakan salah satu cara untuk memelihara dan juga memperbaiki kehidupan sosial. Pemerintah memang sudah lama melihat bahaya urbanisasi tak terkendali ini. Maka, gagasan untuk mengendalikan urbanisasi, dan bahkan membuat de-urbanisasi bukanlah barang baru. Tetapi pada kenyataannya, betapapun pemerintah ataupun juga pihak-pihak lainnya meluncurkan jurus-jurus untuk mengendalikan urbanisasi, rasa-rasanya urbanisasi berlangsung terus. Alih-alih terkendali, sebaliknya urbanisasi semakin tak terkendali dan efek sampingnya semakin membelit.

Kita memang bisa mempertanyakan efektivitas jurus-jurus pemerintah untuk mengendalikan urbanisasi. Pun pula kita bisa menyimpulkan urbanisasi bersifat alamiah, maka dengan cara apapun tak bisa dikendalikan, dan akhirnya kita harus ikhlas untuk menonton dan bahkan merasakan sendiri efek sampingnya. Ini adalah soal perut. Jika di desa perut tetap lapar, maka sah-sah saja orang mencari sesuatu untuk mengisi perut di perkotaan.

Benarkah urbanisasi tak bisa dan tidak perlu dikendalikan??? Dengan melihat ancaman kemanusiaan yang lahir dari urbanisasi tak terkendali, kita harus mempunyai keyakinan bahwa sangat perlu untuk dikendalikan, bahkan kalau mungkin juga sampai pada tahap ruralisasi. Tentang bisa atau tidaknya, usaha dan waktulah yang menjawab. Lagi pula, memang rasanya, kita memang tidak mungkin mengendalikan urbanisasi sampai ke batas normal demi terciptanya kehidupan sosial yang baik untuk perkotaan ataupun untuk pedesaan. Paling tidak, arus urbanisasi terkurangi.

Mungkin kita berkecil hati, kalau pemerintah dan beberapa pihak lain dari dahulu telah membuat program untuk tidak berubanisasi, tidak berhasil, apa lagi kita sekarang ini? Tidak sia-siakah energi kita? Sudahlah itu memang hal yang tak terpecahkan! Masih banyak pekerjaan lainnya yang lebih perlu kita tanggapi!

Tapi marilah hening sejenak! … Kita, oleh rasa keagamaan dan sosialitas, dipanggil untuk menanggapi tanda-tanda zaman yang senantiasa berubah-ubah dan mengancam kehidupan sosial. Kecemasan masyarakat kota akan masalah-masalah sosialnya (pemukiman sulit, kemacetan lalu lintas, kemiskinan, gelandangan, pengemis, premanisme, prostitusi, banjir dll.) dan sekaligus kecemasan masyarakat desa akan masalah-masalah sosialnya (pertanian tak memberi untung, jauh dari fasilitas hidup yang membuat nyaman, kemiskinan, kebodohan, keminderan, dll), yang salah satunya merupakan dampak negatif urbanisasi tak terkendali, merupakan salah satu tanda zaman kita dewasa ini. Dalam kecemasan masyarakat kota dan desa, kita terpanggil untuk terlibat di dalam kecemasan itu dan berjuang untuk keluar dari kecemasan itu..

Marilah kita juga sejenak berpikir tentang upaya pemerintah selama ini untuk menghambat urbanisasi! Memang menggembirakan bahwa pemerintah –sebagai pelayan masyarakat-- mempunyai keprihatinan yang mendalam terhadap urbanisasi tak terkendali yang berdampak negatif, dan berusaha untuk mengendalikannya. Yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut: pertama, pembangunan desa yang diluncurkan pemerintah untuk membuat orang betah di desa apakah memang sudah terjadi, dan bila sudah terjadi apakah sungguh menyentuh kehidupan masyarakat desa? Kedua, selama ini yang merasa dirugikan hanyalah pemerintah kota, sehingga yang berseru lantang menentang urbanisasi hanyalah mereka. Sedangkan pemerintah yang membawahkan desa tenang-tenang saja. Sekurang-kurangnya program pengendalian urbanisasi di desa-desa, tak terdengar. Ketiga, sebagian agen pemerintah yang menyerukan untuk mengendalikan urbanisasi adalah juga kaum urbanis yang sudah sukses di kota. Secara psikologis, ini menjadi beban tersendiri dan upaya de-urbanisasi menjadi terhambat. Keempat, upaya untuk mengubah pandangan manusia --dalam ini berkaitan dengan dampak negatif urbanisasi—untuk keberhasilannya membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Kelima, pemerintah “tidak bisa” memberi contoh bagaimana tetap tinggal di desa dan mengembangkannya sehingga tidak perlu berurbanisasi. Ini memang juga sulit. Bagaimana mungkin mereka memaksa orang lain untuk bertahan di desa atau kembali ke desa, sedangkan “dirinya sendiri” tinggal bahagia di kota? Pada hal keteladanan diyakini banyak orang menjadi cara yang efektif untuk menggerakkan orang, meski tidak selalu.

Kiranya hal yang kelima amat penting, yakni soal keteladanan: menjadi betah fisik dan psikis tinggal di desa. Tentu saja, agar sasaran pembangunan dan pengembangan desa tercapai, kita harus mempunyai strategi yang tepat dengan menyesuaikan dengan keadaan setempat. Tak disangkal bahwa pedesaan hampir tidak lepas dari pertanian. Maka, pertanian bisa menjadi salah satu sarana bagi pembangunan desa.

Permasalahannya, pertanian sebagai mata pencaharian pokok masyakat pedesaan tidak diminati lagi, terutama oleh sebagian besar kaum mudanya. Selain berlakunya trend merantau ke kota dan “yang penting tidak menjadi petani”, nyatanya kondisi usaha pertanian tidak begitu saja menguntungkan. Salah satu sebab pertanian tidak menguntungkan, seperti yang sudah kita kenal, adalah budaya pertanian yang mengejar hasil, namun tidak berhasil. Para petani mengeluh karena biaya pupuk dan obat-obatan kimia semakin mencekik sedangkan hasilnya tidak bisa menutupnya. Selain itu, kecenderungan para petani untuk menanam varietas tanaman yang sama dalam jumlah besar, sehingga masa panen bersamaan, dan seturut hukum pasar, harga pun menjadi rendah.

Maka, pintu masuk dalam usaha pertanian adalah menawarkan budaya pertanian yang ramah biaya sekaligus ramah lingkungan. Saat ini, biaya yang paling besar untuk pertanian mereka adalah pupuk kimia dan obat kimia. Dengan pertanian ramah lingkungan dan biaya, kita menunjukkan bahwa kita bisa memangkas biaya pupuk dan obat kimia. Biaya yang dikeluarkan hanyalah untuk pupuk alami (kandang, daun) dan pemeliharaan.

Kemudian, menghadapi kecenderungan untuk mengusahakan tanaman yang sama, ditawarkan untuk mulai melirik jenis tanaman yang belum dominan, mudah tumbuh sehat, tahan hama, dan mempunyai nilai jual. Dengan demikian, harga pasar akan tetap terjaga dan hasil akan menguntungkan.

Mendukung secara konkret untuk memelihara ternak yang menghasilkan pupuk kandang juga bisa menjadi strategi mengubah pertanian ke arah yang lebih ramah lingkungan.

Dua hal pertama pemecahan kebuntuan usaha pertanian itu, mudah untuk kita tawarkan, namun tidak mudah untuk diterima oleh para petani. Mengapa tidak mudah untuk diterima oleh mereka? Pertama, sepertinya mustahil bagi mereka untuk bertani tanpa menggunakan pupuk dan obat kimia. Pupuk dan obat kimia sudah menjadi keharusan bagi mereka. Ditawarkan model tanpa itu, mereka hanya tertawa tak meyakini manfaatnya. Kedua, berhadapan dengan tawaran untuk beralih ke varietas yang tidak dominan namun juga menghasilkan, mereka takut kalau tidak bisa panen seperti yang lain. Pokoknya, tanamannya harus sama dengan yang lainnya. Titik! Kalau banyak yang lain memanam cabe, maka mereka semua akan menanam cabe. Teori hukum pasar, meski berlaku bagi mereka, namun tak mereka akui, atau lebih tepatnya, tak mereka pahami. Ketiga, kita tidak menggunakan modal besar yang bisa dijadikan sarana untuk menggalang dan mengatur para petani untuk mengikuti cara kita. Modal besar kalau tidak sangat cermat bisa saja memikul konsekuensi tak produktif, entah bagi kita ataupun bagi para petani sendiri. Modal besar, tentunya harus diadakan dan kalau kita tidak punya tentunya harus meminta pihak lain. Tentunya bukan berati kita tabu untuk meminta, tetapi baiklah kita berusaha untuk mandiri lebih dahulu. Bila kita langsung mengelola modal besar pada hal bukan dari jerih payah kita sendiri, secara psikologis bisa menghambat kita untuk kerja keras kita sendiri. Kemudian bagi para petani, bukan tidak mungkin bahwa mereka mengikuti cara kita bukan dari kesadaran akan manfaat pertanian organik, namun lebih tertarik oleh kucuran modal. Sekali lagi, bukannya kita harus anti modal besar dari pihak lain dan pelit untuk berbagi modal pada petani, melainkan bahaya modal besar, juga besar!

Strategi yang rasanya efektif untuk menggeser budaya pertanian tersebut adalah dimulai dari kita sendiri. Tanpa jemu menekankan perlu dan manfaat pertanian ramah lingkungan, kita harus bekerja keras untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa model pertanian yang kita tawarkan itu bukan omong kosong. Sejauh kita belum bisa membuktikan bahwa bisa hidup lebih baik dengan menerapkan pertanian organik, lalu mereka belum mau menerapkannya, ya masuk akal saja. Kita tidak bisa kecewa dan menyalahkan mereka. Dengan demikian, kita sungguh ditantang untuk bekerja sekeras mungkin dengan keadaan modal seperti para petani pada umumnya, untuk menunjukkan: “ini… lebih baik dan menguntungkan!”. Kalau itu terjadi, tanpa kita ajak pun orang akan ikut menerapkannya

Tentu saja, gagasan itu untuk menjadi kenyataan membutuhkan proses waktu dan perjuangan yang panjangnya tidak bisa dipastikan. Panjang-pendeknya amatlah tergantung pada lemah-kerasnya perjuangan kita, keterbukaan masyarakat desa dan kondisi-kondisi yang menguntungkan atau tidak.”

Bapak Bupati, begitulah permenungan saya berkaitan dengan kehidupan sosial pedesaan. Apakah yang saya inginkan dari Bapak? Tentu saja, seperti yang sudah saya ungkapkan, bukan bantuan uang ataupun barang. Terus terang saja, BLT kompensasi BBM kemarin ternyata malah berdampak negatif, pada para penerima ataupun bukan penerima di desa tempat saya tinggal. Yang saya inginkan juga bukan niat dan tindakan Bapak untuk tinggal dan berjuang di desa. Saya sangat sadar bahwa Bapak adalah pemimpin seluruh rakyat Kabupaten Cianjur (pedesaan dan perkotaan) dan tanggung jawab Anda amat besar. Maka yang saya inginkan dari Bapak adalah kebijakan-kebijakan sosial-ekonomi yang secara konkret dan tegas meminimalisasi jurang perbedaan antara pembangunan kota dan desa, antara orang kaya dan miskin. Untuk Bapak ketahui saja, kekayaan orang paling kaya Indonesia, kalau dihitung-hitung…. setara dengan kepemilikan ratusan ribu rakyat pedesaan Cianjur Selatan.

Bapak Bupati yang terhormat, terimakasih saya haturkan karena Bapak sudi membaca permenungan saya ini. Dan sekali lagi, saya memohon maaf atas kenekadan saya.

Salam dan Hormat,

Antonius Anton Padmono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Musik