Sabtu, 08 Agustus 2009

(Kembali) Ke Desa?

Pada suatu sore Agus duduk di teras rumahnya untuk sekedar melepas lelah sesudah bekerja sejak pagi. Ia membaca koran sore. Tetapi ia tidak bisa menikmati bacaannya. Teriakan riuh rendah anak-anak –termasuk dua anaknya-- yang bermain-berkejaran di sepanjang gang depan rumahnya membuatnya bermenung.
Ia memikirkan kenyataan yang dihadapi selama tinggal di Jakarta, khususnya di sekitar rumahnya. Rumah-rumah demikian padat, sehingga hampir tidak ada celah kecuali jalan dan gang sempit. Untuk memenuhi kebutuhan bermain, anak-anak terpaksa menggunakan gang dan jalan. Ia makhlum. Tak tersedia ruang terbuka, baik pribadi maupun publik, terutama untuk kalangan ekonomi bawah.
Kemudian, pikirannya melayang ke desa yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu. Rumah-rumah terletak berjauhan dan berpekarangan luas. Sekilas ia membayangkan ia dan keluarganya menetap di desa, dan kedua anaknya tidak susah mencari tempat dan bahan untuk bermain. Tetapi bayangan itu ditepisnya. Bagaimana ia harus menghidupi istri dan anaknya? Apakah pertanian bisa menghidupi keluarganya? Bagaimana tanggapan orang tua dan para tetangganya di desa? Bukankah jaman memang sudah berubah, dan tidak tepat merindukan keadaan seperti masa lampau?
Hari-hari berlalu. Suatu hari ia terjebak dalam sebuah kemacetan yang lama dan membosankan. Ia bermenung. Ia menyalahkan pemerintah yang tidak menyediakan fasilitas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kendaraan. memahami betapa tidak mudah pemerintah menyediakannya bila ditinjau dari berbagai segi. Ia menyalahkan banyaknya orang yang memiliki kendaraan pribadi, sehingga betapapun Jakarta mempunyai banyak jalan lebar, tetap tidak akan mampu menampung berjubelnya kendaraan pribadi. Tapi, ia buru-buru berpikir, pemilik kendaraan kendaraan tidak bersalah. Bukankah mereka bebas menggunakan uangnya untuk apa saja, termasuk membeli kendaraan, asalkan masih dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral? Ia menyalahkan orang-orang yang beramai-ramai merantau ke Jakarta. Jakarta menjadi penuh sesak. Tapi, ia mengoreksi tuduhannya. Bukankah setiap orang boleh tinggal di mana saja untuk kelangsungan hidupnya asalkan dengan cara-cara yang benar? Dan itu termasuk dirinya sendiri? Ia menyalahkan mengapa fasilitas-fasilitas yang mendukung untuk hidup tersedia lebih lengkap hanya di Jakarta, sehingga banyak orang tertarik ke Jakarta…. Ia dipusingkan oleh permenungannya sendiri. Akhirnya, gagasannya untuk kembali ke dan tinggal di desa sekonyong-konyong muncul kembali. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang dahulu telah menenggelamkan gagasan itu, juga muncul kembali dan lagi-lagi menenggelamkannya lebih dalam. Ia menyimpulkan, bahwa ia memang harus berjuang keras untuk memaknai hidup di tengah persaingan yang keras di Jakarta. Mau tidak mau! Hidup memang harus dan untuk berjuang, kemudian menang.

Sekali waktu ia merenungkan orang-orang di sekitar perempatan-perempatan jalan raya yang hampir selalu disaksikan bila berangkat dan pulang kerja. Ada pengamen, pengemis, pedagang asongan, pemulung dan mungkin pencopet, serta bahkan anak-anak kecil usia sekolah. Ia mempertanyakan alasan mereka sampai menjadi seperti itu. Apakah mereka tidak mau bekerja keras seperti dirinya, sehingga berhasil? Apakah mereka tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu ketertiban umum. Mengapa mereka tidak mencari pekerjaan yang layak dan baik? Pokoknya, ia menilai bahwa mereka tidak kreatif dan menjadi masalah bagi orang-orang lainnya. Tetapi, kemudian ia berpikir bahwa masuk akal juga jika mereka akhirnya terpaksa harus berbuat seperti itu. Mereka tidak mampu bersaing dengan lain. Mereka adalah kelompok yang kalah, sedangkan dirinya adalah salah satu dari kelompok yang mengalahkan mereka. Kemudian ia bertanya lagi, kalau tahu sudah kalah mengapa mereka tidak mencari ke tempat lain, ke desa misalnya. Mengapa? Mengapa? Ia bingung… tidak tahu jawabannya.
Kemudian tercetus dalam pikirannya, bukankah kalau ia sendiri meninggalkan Jakarta, berarti memberi kesempatan yang kalah itu untuk bisa menang, meskipun hanya satu orang? Mengalah bukan berarti kalah, pikirnya teringat kearifan nenek moyangnya. Ya, itulah salah satu cara untuk membantu kesulitan orang lain. Baru saat itu dirinya merasa terpanggil untuk turut meringankan beban orang lain secara agak berbeda dari yang sudah lazim. Ia membantu orang lain tidak dengan memberikan harta kekayaannya, melainkan dengan meninggalkan/mengurbankan kesempatan bisa hidup layak di kota, supaya dinikmati orang lain. Ia sadar bahwa langkah sosial itu mungkin agak sulit dipahami oleh orang lain, dan bahkan akan ditertawakan. Ia sadar pula bahwa hal itu mengandung konsekuensi positif-negatif yang mesti ditanggungnya. Namun keputusannya sudah bulat. Ia ingin menetap di desa dengan bekerja sesuai dengan keadaan desa. Dan dengan bekal pengalaman di kota ia berharap menemukan alternatif-alternatif penghidupan di desa. Ia mengerti, sebagaimana di kota, hidup di desa pun perlu berjuang keras.
Masih ada persoalan yang mengganjal keputusannya. Bagaimanakah tanggapan istrinya? Apakah anak-anaknya mau beralih dari kehidupan kota ke kehidupan desa? Apakah orang tuanya di desa bisa memahami karena selama ini bangga akan dirinya yang dianggap berhasil di kota?
Ia menyadari bahwa keputusannya itu belum final, karena mesti disampaikan kepada istri dan anak-anaknya juga orang tuanya terlebih dahulu. Dengan cara penyampaian yang tepat, cermat dan simpatik, ia berharap keluarganya bisa memahaminya dan lalu mendukungnya secara nyata. Memang, ia bertekad bahwa tidak akan memaksakan kehendaknya kepada keluarganya. Apa bila keluarganya tidak atau belum setuju untuk kembali ke desa, ia akan lebih mengutamakan keluarganya dari pada mengikuti gagasannya. Akan tetapi, ia sungguh berharap bahwa keluarganya bisa memahaminya dan mengikutinya. Sebab hal itu bukanlah untuk keuntungan diri dan keluarga semata, melainkan juga orang lain.


Sebuah  Refleksi Sosial: Kesenjangan Kaya - Miskin


Bila kita pernah terjebak kemacetan total di jalan tol, misalnya di ruas Cawang – Tanjung Priok, kita dengan mudah melihat, betapa mobil-mobil pribadi dan tidak sedikit yang mewah mendominasi barisan panjang kendaraan yang mengular. Itu baru yang kita lihat di sekitar tempat kita terjebak. Pada saat yang sama, ada berapa mobil pribadi dan tidak sedikit yang mewah itu tengah berada di jalan tol antara Merak sampai Ciawi, Bogor dan Cileunyi, Bandung? Tak terbayangkan. Lebih tak terbayangkan lagi, ada berapa mobil jenis itu yang berada di luar jalan tol di Jabotabek saja. Belum lagi yang berada di kota-kota lain di pulau Jawa saja. Semakin tak terbayangkan! Ternyata ada banyak sekali mobil pribadi, dan tidak sedikit yang mewah.
Luar biasa! Di Indonesia ternyata banyak orang yang kaya, dan tidak sedikit yang kaya raya. Itu baru dilihat dari kepemilikan kendaraannya. Bila dilihat dari kepemilikan-kepemilikan lainnya, misalnya rumah yang bagus, isi rumah yang serba mewah, semakin kita dibuat tercengang.
Kemudian, bila pernah berkunjung pada sebuah perkampungan pinggir sungai Ciliwung, Jakarta, dengan mudah kita melihat, betapa rumah-rumah sempit dan sumpek berhimpitan satu sama lain, dan isi rumah pun hanya yang minimal untuk bertahan hidup. Itu baru yang terlihat di sekitar tempat kita berkunjung. Pada saat yang sama, ada berapa rumah yang keadaannya sama atau bahkan lebih mengharukan berada di kanan-kiri sepanjang sungai Ciliwung dari Bogor sampai muaranya di teluk Jakarta? Tak terbayangkan. Lebih tak terbayangkan lagi ada berapa rumah semacam itu yang terletak di Jabotabek? Belum lagi yang berada di kota-kota lain dan desa-desa di pulau Jawa saja. Semakin tak terbayangkan. Ternyata, ada banyak sekali rumah sempit-sumpek, dan tidak sedikit yang isi di dalamnya hanya yang minimal untuk bisa bertahan hidup.
Memprihatinkan! Di Indonesia ternyata ada banyak orang yang miskin, dan tidak sedikit yang amat miskin. Itu baru dilihat dari kepemilikan rumahnya. Bila dilihat dari kepemilikan lainnya, yang memang sedikit atau bahkan tak ada, semakin kita dibuat tercengang-cengang!
Itulah kenyataan negara kita yang luar biasa, dan sekaligus amat memprihatinkan. Ada yang orang yang kaya sekali, tetapi ada orang yang miskin sekali.
Orang-orang kaya menempati tanah 10.000 m2 untuk 10 keluarga saja, dan orang-orang yang miskin menempati tanah dengan luas yang sama untuk 1000 keluarga. Dari hal semacam itu bisa ditarik kesimpulan secara sederhana, bahwa jumlah yang kaya ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang miskin. Dan rasanya, ini diteguhkan oleh data, kalau itu benar, bahwa jumlah keluarga miskin yang menerima Bantuan Langsung Tunai akhir-akhir ini ada 15-an juta keluarga, bahkan semakin bertambah. Itu baru keluarga yang dikategorikan sangat miskin. Belum lagi yang ada dalam kategori miskin saja.
Di negara kita, ada yang kaya dan ada yang miskin, dan yang miskin jauh lebih banyak dari pada yang kaya. Hal ini terasa biasa saja kalau tidak dipikirkan. Untuk apa dipusingkan? Itu adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan. Sudah tidak aneh, kalau ada orang yang kaya dan ada orang yang miskin. Mau menentang kenyataan?
Apakah benar kenyataan seperti itu tidak perlu kita pikirkan, lalu kita tentang, dan selanjutnya kita berusaha meminimalkan kesenjangan kaya-miskin yang demikian besar? Siapa pun yang mempunyai akal sehat dan kepekaan sosial pasti menjawab “perlu”, dan bahkan “harus”. Kenyataan itu merupakan penyakit dalam kehidupan sosial. Dan tidak ada penyakit yang dibiarkan semakin menjalar-meluas, kecuali oleh orang yang tidak waras kepekaan perasaannya.
Memang, kita hanya bisa meminimalkan, sebab tidak mungkin meniadakan sama sekali kesenjangan kaya-miskin. Yang terakhir, dengan usaha apa pun tidak akan terwujud. Mengharapkan semua orang memiliki segala sesuatu secara sama adalah suatu harapan yang kosong-melompong.
Kecuali dalam martabat sebagai makhluk paling sempurna, setiap manusia mempunyai keunikan, tidak ada yang sama persis dengan yang lain dalam segala hal. Dari penampilan fisik dan kedalaman psikis, hal itu tidak bisa disangkal. Setiap manusia mempunyai wajah, rambut, kuping dan bagian badan yang lain, tidak sama dengan yang dimiliki oleh yang lain. Begitu pula, setiap manusia mempunyai bakat, kepandaian, emosi dan bagian kejiwaan lain yang tidak sama dengan yang dimiliki oleh yang lain. Dari hal itu, sudah terbaca dengan amat jelas, bahwa memang dari kodratnya, di antara manusia tidak akan ada kesama-rataan dalam segala hal. Kenyataan itu memungkinkan, --misalnya dalam kepemilikan materi—ada yang lebih kaya, dan tentu saja ada yang lebih miskin. Maka, kita tidak bisa merindukan semua orang bisa menjadi sama kaya atau sama miskin. Sekali lagi, tidak bisa! Dalam batas tertentu dan wajar, adanya kesenjangan kaya miskin bukanlah sebuah masalah.
Masalah akan muncul ketika kesenjangan kaya-miskin teramat besar. Perlu diingat, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang keberadaannya (hidup dan secara mutlak lahirnya) tidak bisa tidak membutuhkan manusia lain. Ke-makhluk-sosial-an manusia membawa konsekuensi logis bahwa manusia saling memperhatikan satu sama lainnya. Konsekuensi logis dari ke-makhluk-sosial-an manusia ini menyangkut manusia lain bukan berdasarkan kriteria suku, kerabat, agama atau penggolongan apa pun, namun manusia sebagai manusia yang mempunyai kesetaraan martabat. Oleh sebab itu tidak ada batasan bagi manusia untuk memperhatikan sesamanya. Bila semua manusia, atau sebagian besar saja sudah menyadari dan mewujudkan ke-makhluksosial-annya, tidak ayal lagi kesenjangan kaya-miskin yang merupakan salah satu noda hitam besar ke-makhluk-sosial-an manusia, diperkecil.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana caranya agar manusia memahami dan menghayati ke-makluk-sosial-annya? Mungkin terkesan agak melecehkan bila kita pada zaman pendidikan yang kelihatannya sudah berkembang ini, mempertanyakan pemahaman manusia akan ke-makhluk-sosial-annya. Seolah-olah banyak manusia dewasa ini tidak mengerti hal tersebut. Namun, bila kita melihat kenyataan akan adanya kesenjangan kaya-miskin yang sungguh besar, tidak diragukan lagi bahwa pemahaman, dan lebih lagi, penghayatan ke-makhluk-sosial-an sebagaian besar manusia dewasa ini amat lemah. Apakah ini salah?
Memang bisa saja, manusia zaman sekarang “terpaksa” merelatifkan ke-makhluk-sosial-annya karena desakan situasi. Tawaran-tawaran arus zaman, seperti hedonisme, individualisme, materialisme, ekshibisionisme telah menendang jauh ke-makhkuk-sosial-an manusia. Akan tetapi, tawaran-tawaran itu tetap tidak bisa menjadi pembenaran bagi penendangan ke-makhluk-sosial-an manusia. Hal-hal itu mestinya diperangi, apa bila manusia mau sungguh memahami dan menghayati ke-makhluk-sosial-annya.
Sesungguhnya, upaya untuk memerangi tawaran-tawaran yang antisosial itu bukan tidak ada. Agama apa pun dan negara mana pun pastilah menekankan bahaya dan/atau ekses-ekses negatif dari hal-hal itu, dan perlunya menghindarinya untuk membangun sebuah tatanan kehidupan sosial yang baik. Akan tetapi, persoalannya kembali pada masing-masing manusia yang pada dirinya memang memiliki kehendak dan kebebasan.
Kehendak dan kebebasan sendiri bersifat netral, dan justru oleh dua hal inilah manusia menjadi makhluk yang paling tinggi martabatnya dibandingkan dengan makhluk lain. Tidak bijaksana jika kita menjatuhkan keputusan bahwa kehendak dan kebebasan menjadi sumber penyakit kehidupan sosial.
Setiap manusia mempunyai kehendak dan kebebasan dengan beberapa batasan. Kehendak manusia bisa mengarah pada kutub pembangunan kehidupan sosial, pun pula bisa mengarah pada kutub perusakan kehidupan sosial. Kutub manakah yang diperjuangkan sesorang, amat tergantung dari pemahaman pribadinya sebagai makhluk sosial.
Berkaitan dengan arah (kehendak) kutub perjuangan seseorang, mesti juga disadari bahwa setiap orang mempunyai “peruntungan kelahiran” menyangkut tempat dan waktunya. Dalam bahasan ini hanya dilihat dimensi tempatnya. Bahwasannya, setiap orang tidak bisa memilih tempat untuk kelahirannya. Ada faktor eksternal yang membuat begitu saja seseorang “harus” lahir di tempat tertentu. Konkretnya, ada yang lahir di keluarga kaya, ada yang di keluarga miskin, ada yang di tempat bersih, ada yang di tempat kumuh, ada yang di daerah subur, ada yang di daerah tandus, ada yang di desa, ada yang di kota dan sebagainya. Tidak ada seorang pun yang bisa memilih tempat kelahirannya, melainkan tergantung pada “keberuntungan”-nya.
Terlepas bahwa peruntungan kelahiran itu berdimensi misteri, kiranya kenyataan itu menyinggung amat keras ke-makhkuk-sosial-an manusia. Kesungguhan ke-makhluk-sosial-an manusia ditantang oleh kenyataan keberagaman tempat kelahiran manusia. Apakah mereka yang “beruntung” karena lahir dan hidup dalam keluarga berada, mampu menjadi makhluk sosial bagi yang “tidak beruntung” karena lahir dalam keluarga miskin? Ini hanya salah satu contoh pertanyaan. Yang jelas keberagaman tempat kelahiran manusia mestinya dipandang sebagai tantangan dan sekaligus peluang untuk mewujudkan ke-makhluk-sosial-an manusia. Menjadi tragis apa bila peruntungan itu dipandang sebagai sesuatu yang memang harus dipertahankan seperti itu. Misalnya, “aku memang ditakdirkan menjadi orang kaya, dan engkau menjadi orang miskin. Jadi, ya jalani saja”.
Sejalan dengan peruntungan kelahiran seseorang, bakat dan kecakapan serta peruntungan yang lain yang beragam juga menjadi tantangan dan peluang untuk mewujudkan ke-makhluk-sosial-an manusia.
Apa bila peruntungan kelahiran, bakat dan kecakapan serta peruntungan lainnya hanya diarahkan untuk menggemukkan diri sendiri, kehidupan sosial akan sakit, karena di dalamnya tidak tersedia ruang untuk menggemukkan yang lain. Seorang kapitalis ekstrem akan berusaha sekuat tenaga –dan mungkin dengan segala cara—untuk mengembangkan modalnya. Modal di sini bukan hanya kepemilikan materi, melainkan juga kepemilikan non-materi, misalnya keunggulan sosial, religius, psikis, intelektual dan sebagainya. Baginya, segala sesuatu yang tidak berguna untuk menambah modalnya, tidak penting dan harus dihindarkan, termasuk di dalamnya praktek ke-makhluk-sosial-an. Hidup adalah persaingan. Siapa yang kuat, dialah yang menang. Dan inilah yang ditentang oleh kaum sosialis, yang mencita-citakan kesamarataan dalam segala hal, dan tidak memperkenankan persaingan buta, atau lebih tegasnya, mau menang sendiri.
Kehendak bebas, peruntungan kelahiran, bakat dan kecakapan manusia telah menumbuhkan dua aliran sosial yang saling bertentangan. Di satu pihak muncul aliran kapitalis yang seakan memutlakkan kemampuan sendiri sebagai yang paling penting dan harus mengalahkan kemampuan orang lain. Di pihak lain, sebagai reaksi, muncul aliran sosialis yang memperjuangkan kesamarataan manusia dalam segala hal. Keduanya merupakan bibit penyakit kehidupan sosial. Aliran kapitalis memutlakkan kemampuan pribadi manusia, sehingga menutup ke-makhluk-sosial-annya, dan aliran sosialis memutlakkan ke-makhluk-sosial-an manusia, sehingga membelenggu kemampuan pribadinya.
Kiranya, untuk membangun sebuah kehidupan sosial yang semestinya, perlu diambil jalan tengah dari kedua aliran ekstrem itu. Bahwasannya, setiap manusia memang mempunyai kemampuan pribadi dan perlu dikembangkan serta dihargai. Akan tetapi, dalam memngembangkan kemampuan itu hendaklah memperhatikan juga dimensi ke-makhluk-sosial-annya.
Dengan peneropongan masalah seperti di atas, akan terlihat aliran sosial manakah yang lebih laku dan menyetir perjalanan kehidupan sosial negara kita? Sepintas lalu, kalau merenungkan kenyataan akan adanya kesenjangan kaya-miskin yang besar, rupanya aliran kapitalis adalah jawabannya. Memang, mungkin ada yang menolak pernyataan ini. Akan tetapi, rasanya penolakan itu akan dibantah oleh kenyataan yang ada sekarang ini.
Rasa-rasanya, untuk melangkah lebih jauh, memperjuangkan kehidupan sosial yang semestinya, lebih dahulu perlu disadari dan dipahami kenyataan kehidupan sosial kita sekarang ini, yang di dalamnya ada masalah dan sumbernya. Semua dari kita, yang mempunyai peruntungan, bakat, kecakapan yang berbeda-beda, oleh ke-makhluk-sosial-an kita, bersama-sama memiliki tanggung jawab untuk membangun kehidupan sosial yang baik. Namun beberapa dari kita, yang memiliki keunggulan-keunggulan sosial-politik-religius-budaya-ekonomi dan selanjutnya amat berpengaruh pada hitam-putihnya kehidupan sosial, mempunyai peranan yang lebih dan menentukan. Yang lebih besar mempunyai tanggung jawab yang lebih besar pula.
Untuk membuat diri kita tidak tercengang-cengang-prihatin ketika merenungkan kenyataan negara kita, kiranya dibutuhkan proses yang panjang dan berliku serta melelahkan. Tetapi, bukan berarti hal itu tidak perlu.
Anton Padmono
Warga Negara Indonesia
Tinggal di Cianjur

Merdeka dari Kemiskinan


17 Agustus 2009, genap 64 tahun bangsa Indonesia terbebas dari penderitaan karena penjajahan bangsa asing, tetapi masih banyak penduduknya belum terbebas dari penderitaan karena penjajahan kemiskinan (dalam tulisan ini, berkenaan dengan kemiskinan ekonomi saja!). Ini bukanlah pernyataan yang mengada-ada. Penderitaan karena kemiskinan sudah bukan berita dan fakta yang asing bagi kita, atau bahkan kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri, atau lebih lagi kita tengah mengalaminya.

Kemiskinan merupakan fakta sosial yang menyedihkan dan tidak pernah dicita-citakan oleh siapa pun, serta seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu membuat orang tidak berdaya untuk menghidupi diri dan keluarga, bahkan sekedar memenuhi kebutuhan primer. Hal itu juga melahirkan berbagai macam penderitaan hidup: keterbelakangan, kelaparan, penyakit tak terobati, keminderan dan sebagainya.

Bagaimana kita bisa memahami kenyataan tentang bangsa Indonesia yang wilayahnya luas dan kaya akan sumber daya alam, namun rakyatnya masih banyak yang miskin? Bagaimana kita harus mengatakan “kaya atau miskin negara kita”, jika kita melihat sebagian rakyat menikmati kepemilikan serba mewah, sementara sebagian yang lain untuk makan saja mengalami kesulitan? Secara sederhana, hal itu bisa terjadi karena tiga faktor.

Pertama-tama adalah perbedaan sumber daya manusia, kesempatan dan tempat. Tidak bisa disangkal bahwa setiap orang memiliki kemampuan (SDM) yang berbeda-beda dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, misalnya: pandai berusaha. Kesempatan yang berbeda-beda juga menentukan perkembangan orang secara ekonomi, misalnya: tersedia lowongan kerja. Lalu, tempat juga turut menentukan, misalnya: lahan pertanian yang subur atau daerah sentra pembangunan.

Faktor kedua adalah peranan pemerintah belum efektif. Pemerintah belum berhasil mendistribusikan kekayaan negara kepada rakyat secara adil dan merata. Berkaitan dengan alasan kemiskinan pertama, pemerintah belum berhasil mengusahakan agar semua rakyatnya memiliki SDM yang mencukupi, menyelenggarakan kesempatan yang kondusif dan membuat prioritas-prioritas tertentu untuk daerah-daerah sulit, untuk kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat. Akibatnya, kekayaan negara dinikmati secara berlebih hanya oleh sebagian rakyat.

Faktor ketiga adalah rendahnya rasa solidaritas antar penduduk, terlebih dari penduduk yang kaya ke yang miskin. Hal ini menjadikan kekayaan negara mengerucut pada sekelompok kecil penduduk, dan mengondisikan sebagian penduduk lainnya sulit ikut menikmatinya. Dengan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki, yang kaya semakin mudah untuk menambah kekayaannya, sementara yang miskin semakin terjepit oleh kemiskinannya.

Ke-belum-berhasil-an pemerintah dalam menyejahterakan seluruh rakyat selama ini, bukan berarti tak ada kepedulian pemerintah terhadap rakyat miskin. Program pengentasan (dari) kemiskinan dengan berbagai jurusnya sudah lama kita dengar. Akan tetapi, nyatanya jumlah rakyat miskin masih banyak, bahkan cenderung bertambah. Hal ini merupakan tanda bahwa program-program pembebasan pemerintah tidak efektif. Program-program itu belum mencapai tujuannya. Ketidakberhasilannya bisa disebabkan karena programnya tidak tepat sasaran, dan/atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketidaktepatan sasaran program menyangkut berbagai kemungkinan, misalnya, analisa sosialnya tidak akurat. Sedangkan pelaksanaan tidak sesuai program –meski sangat bagus-- menyangkut agen-agen yang seharusnya menjalankannya, misalnya, tidak berdedikasi dan suka korupsi.

Jika program pembebasan dari kemiskinan yang sekian lama digulirkan pemerintah belum berhasil juga, apakah yang harus pemerintah lakukan lagi? Tentu saja, rasa putus-asa harus dibuang jauh-jauh, karena ini menyangkut rakyat yang seharusnya tidak jatuh dalam kemiskinan. Sebaliknya dimensi pengharapan bahwa seluruh rakyat bisa menikmati kemakmuran harus dikedepankan. Memang, pengharapan saja belumlah cukup. Dibutuhkan perjuangan yang keras dan serius untuk mewujudkannya. Di samping itu, satu prinsip harus dipegang dan menjadi dasar perjuangan pembebasan: kemiskinan bisa diperangi. Itu bukanlah sesuatu yang mustahil.

Sebagai pengelola negara, pemerintah merupakan faktor penentu terhadap “hitam-putih”-nya keadaan sosial negara, termasuk di dalamnya, ada-tidaknya kemiskinan. Fungsi dan tanggungjawab sosial pemerintah, bila diaktifkan dan diefektifkan, --selainkan menghilangkan faktor kemiskinan dari pihak pemerintah sendiri-- bisa menjadi kunci utama untuk membongkar faktor-faktor kemiskinan lainya. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan publik dan langkah-langkah strategis dan konkret berkaitan dengan SDM, kesempatan kerja dan usaha, prioritas-prioritas pembangunan dan solidaritas pada yang miskin, demi kemakmuran seluruh rakyat. Itu merupakan otoritas pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan negara untuk kesejahteraan umum.

Maka, menyelenggarakan dan menyempurnakan lagi program pembebasan dan pelaksanaannya haruslah pemerintah galang terus-menerus, dengan didasarkan pada situasi nyata rakyat miskin tertentu. Penyebab-penyebab kemiskinan (misalnya: sarana-sarana infrastruktur publik yang tak memadahi, pengetahuan sempit, mentalitas tak produktif dan keadaan alam yang sulit --ini berkaitan dengan SDM, kesempatan dan tempat) dan metode yang akan digunakan untuk pembebasan (misalnya: penetapan kebijakan publik, pelatihan, padat karya, pembangunan fisik dan penyuluhan) hendaknya ditelaah secara jujur dan teliti. Kemudian yang tak boleh diremehkan adalah kesiapan dan kehendak baik dari rakyat sendiri sebagai yang akan dibebaskan dari kemiskinan di satu pihak, dan di lain pihak, perangkat pemerintah yang bertugas. Bersamaan dengan itu, ajakan bagi mereka yang kaya dan sangat kaya untuk bersolidaritas secara positif kepada yang miskin juga perlu disuarakan dan ditekankan. Dengan demikian, program pembebasan bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Dahulu, para pejuang mengurbankan banyak hal yang dimiliki demi terbebasnya bangsa dari belenggu bangsa asing; sekarang, kita juga merupakan pejuang yang harus mengurbankan banyak hal demi terbebasnya bangsa dari belenggu kemiskinan.

*******

Cianjur, 26 Juni 2009

Anton Padmono


Surat Terbuka tentang Desa untuk Bapak Bupati Cianjur

Kepada Yth. Bapak Bupati Cianjur

Di Tempat

Salam penuh hormat dan bakti dalam persaudaraan!

Pertama-tama, saya mohon maaf, karena saya nekad membuat surat pribadi kepada Bapak Bupati. Memang saya tahu, ada sejumlah wakil yang menampung aspirasi rakyat, yakni DPRD, tetapi terus terang saja, saya lebih yakin kalau membuat surat pribadi kepada Bapak Bupati.

Kedua, isi surat ini bukan untuk permintaan sumbangan, baik finansial atau pun barang, namun lebih merupakan permenungan saya pribadi melihat dan mengalami kehidupan sosial dan ekonomi di pedesaan, secara khusus salah satu pedesaan di Cianjur, Jawa barat. Barang kali permenungan saya ini bisa juga menjadi salah satu dari banyak permenungan Bapak Bupati tentang kabupaten kita tercinta, yang tidak menjadi rahasia lagi ada banyak persoalan di sana-sini.

Ketiga, permenungan saya berkaitan dengan kehidupan sosial-ekonomi pedesaan ini, lebih didasarkan pada gejala sosial yang telah berproses sejak puluhan tahun lalu dan hingga kini tambah mengerikan, yakni urbanisasi yang tak terkendali.

Untuk tak berpanjang kata, berikut ini permenungan saya:

“Secara spontan, apa bila kita mendengar atau mengucapkan kata “desa” yang terpampang dalam benak adalah keterbelakangan, terisolir, jauh dari segala hal yang membuat hidup nyaman dan modern, dan segala macam gagasan yang terasa di luar “peradaban”. Sekilas pandangan itu memang tidak jauh amat dengan kenyataan pedesaan dewasa ini, khususnya pedesaan di Jawa Barat yang terkontraskan dengan gemerlapnya kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di kawasan ini. Dan nampaknya keadaan pedesaan yang seperti itu dipahami oleh banyak orang sebagai yang sudah seharusnya. Dengan demikian dihasilkan sebuah pandangan umum: jika ingin sukses dalam hidup harus meninggalkan desa dan mengadu untung di kota, entah untuk sementara waktu ataupun untuk selama mungkin. Hal itu memang masuk akal, bila dilihat dari berbagai gejala sebagai berikut:

- Pertanian sebagai salah satu tiang pokok kehidupan di desa –tanpa modal besar-- tidak menjanjikan perubahan hidup yang cepat.

- Pandangan tentang lebih tingginya martabat (orang) kota dari pada (orang) desa, dengan kata lain: keminderan (orang) desa.

- Lemahnya SDM masayakat desa.

- Kota, dengan segala macam cara, memang menjanjikan lebih mudahnya mencari pemenuhan kebutuhan untuk hidup dari pada di desa.

- Kota, dengan pelbagai kegiatan usahanya, membutuhkan banyak tenaga kerja yang murah.

- Tidak adanya dukungan mental ataupun material bagi orang desa untuk mengembangkan desa sehingga nyaman tinggal di desa.

Singkatnya, adanya kutub desa dan kota yang meruncing mengkondisikan orang desa untuk berurbanisasi. Apa salahnya dengan urbanisasi? Bukankah urbanisasi sungguh positif bagi masyarakat desa, baik pelakunya ataupun yang masih tinggal di desa? Bukankah rumah-rumah bagus di desa, perlengkapan-perlengkapan rumah tangga yang terhitung mahal merupakan berkah dari urbanisasi? Dan bukankah semua itu sulit diadakan oleh pemerintah dan keadaan alam setempat? Tak tersangkal, berkat perantauannya ke perkotaan banyak masyarakat desa menikmati kemudahan fasilitas hidup. Sebaliknya, bagi kota bukankah urbanisasi menyediakan tenaga kerja (yang murah)? Bukankah akan banyak orang kota yang kerepotan jika tak ada para pembantu rumah tangga atau para buruh kasar yang sebagian besar berasal dari desa? Dengan kata lain, urbanisasi merupakan jawaban tepat untuk pemerataan hasil pembangunan. Urbanisasi merupakan cara pendistribusian kemakmuran kota kepada desa. Sederhananya, orang desa pun berhak untuk memperoleh nikmatnya kue pembangunan yang kebetulan (atau terkondisikan) lebih terkonsentrasi di perkotaan. Dan lebih lagi, sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, orang bebas untuk tinggal dan bekerja di mana saja. Orang desa mau berpindah ke kota atau sebaliknya, tidak ada tempat bagi sebuah larangan.

Akan tetapi betapapun urbanisasi membawa dampak positif bagi masyarakat desa dan kota, dan juga merupakan kebebasan dasariah bagi manusia untuk berpindah tempat, nyatanya migrasi penduduk jenis ini juga menimbulkan masalah-masalah yang pelik, baik bagi pedesaan maupun bagi perkotaan.

1. Masalah Pelik Pedesaan

- Desa kehilangan tenaga-tenaga potensial dan produktif. Secara umum yang merantau ke kota adalah mereka yang tergolong pada usia produktif, sehingga perkembangan desa semakin terhambat dan menjadi semakin sangat tergantung pada perkotaan. Yang tertinggal di desa hanyalah mereka yang tidak mampu, atau mereka yang dipandang “tidak mau maju”.

- Rendahnya minat untuk bertani. Pertanian sebagai mata pencaharian pokok di pedesaan dan sebagai penyangga perkotaan semakin tidak diminati, terutama oleh kaum muda yang lebih tertantang untuk berjuang di perkotaan. Hal ini bisa berakibat fatal untuk kemudian hari. Bukan pertanian tidak ada lagi, melainkan akhirnya, sangat mungkin usaha pertanian diambil alih oleh para orang bermodal besar dari kota, dan orang desa yang tertahan menjadi buruhnya.

- Efek psikologis. Keminderan masyarakat desa atas masyarakat perkotaan semakin terpupuk. Hal ini diciptakan oleh masyarakat desa sendiri yang telah merantau ke kota (selanjutnya dalam tulisan ini disebut urbanis) dan sesekali pulang ke desa. Entah secara langsung atau pun tidak, para urbanis membuat mereka yang tetap tinggal di desa merasa bukan apa-apa dibanding mereka yang tinggal di perkotaan.

- Budaya negatif perkotaan berkembang subur di pedesaan. Para urbanis selain memberikan hasil jerih payahnya di perkotaan, juga menanamkan pada masyarakat desa budaya perkotaan yang kontra-produktif, misalnya: konsumerisme, individualisme, instanisme (tak menghargai proses), sekularisme, artifisialisme. Budaya-budaya ini menggeser-geser kearifan-kearifan yang selama ini hidup, seperti: gotong-royong, alami, tenggang rasa, religiusitas, sopan-santun dan saling berbagi.

- Urbanis gagal. Tidak semua urbanis berhasil secara ekonomis. Nyatanya keberuntungan kota tak berpihak padanya dan membuatnya pulang ke desa. Akan tetapi, mereka kembali tinggal di desa bukan dengan kesadaran untuk membangun desanya, namun sekadar meratapi kegagalannya di kota, dan “terpaksa” kembali terdampar di desa.

- Pendidikan. Pekerjaan-pekerjaan sederhana di kota yang tak terlalu membutuhkan bekal pendidikan formal, semakin mengkondisikan masyarakat memandang pendidikan formal, --terlebih pendidikan lanjutan-- tidak perlu dan buang-buang biaya. Untuk apa sekolah, apa bila menjadi pembantu rumah tangga atau buruh-buruh kasar yang juga menghasilkan uang, tidak memerlukan ijasah SD sekalipun. Hal ini akan membuat SDM masyarakat desa tetap atau bahkan semakin rendah. Mereka (semakin) belum memahami bahwa pengetahuan –yang paling lazim melalui pendidikan formal—bisa merubah hidup menjadi lebih baik (lagi).

2. Masalah Pelik Perkotaan

- Pemukiman. Kedatangan para urbanis, entah yang temporal atau pun permanen, membutuhkan pemukiman-pemukiman baru di perkotaan. Terlepas bahwa ini bisa memberi keuntungan bagi developer dan beberapa pihak lain, pemukiman yang layak, sehat dan legal para urbanis, terutama yang berpenghasilan rendah, menjadi masalah pelik di perkotaan. Bantaran-bantaran sungai, pinggiran rel KA, tanah-tanah negara yang masih kosong, dan beberapa sudut lain yang sesungguhnya bukan untuk pemukiman, merupakan lahan yang paling mungkin bagi sebagian urbanis. Betapapun, pemerintah kota berusaha menertibkan tempat-tempat itu, baik dengan cara halus ataupun kekerasan, sejauh urbanisasi berjalan terus secara tak terkendali, dan semakin banyak urbanis berpenghasilan rendah, masalah pemukiman ini hampir-hampir tak akan pernah selesai.

- Kemacetan lalu lintas. Terlepas bahwa pemerintah kota tidak (belum) mampu mengatur lalu lintas dan sarananya dengan baik, atau banyak yang sukses secara ekonomis, termasuk di dalamnya sebagian urbanis, sehingga banyak kendaraan berseliweran, atau merupakan gejala yang mencerminkan ketimpangan pembangunan antara kota dan desa, atau lagi merupakan pemborosan waktu, uang dan tenaga… kemacetan lalu lintas merupakan salah satu rentetan logis dari urbanisasi tak terkendali. Apabila orang dari desa tidak bertumpuk-tumpuk di perkotaan, bisa dipastikan kemacetan lalu lintas yang berdimensi luas itu, kecil kemungkinan untuk terjadi. Sejauh urbanisasi berjalan terus tak terkendali, betapapun sarana-sarana lalu lintas diperluas dan diperbanyak, tidak ada jaminan bahwa kemacetan lalu lintas yang tidak dikehendaki dan merugikan berbagai pihak itu, tidak terjadi.

- Semakin maraknya penyakit-penyakit sosial. Hal ini bukan berarti bahwa urbanisasi adalah satu-satunya penyebab timbulnya penyakit sosial perkotaan, melainkan hanya mau menandaskan bahwa urbanisasi turut memperparah penyakit itu. Perampokan, pencopetan, anak (orang) jalanan --tunawisma, pengemis dan prostitusi, premanisme dll. sepertinya sudah menjadi bagian yang yang tak terelakkan dari kota-kota besar (baca: Jakarta dan sekitarnya, Bandung dan sekitarnya). Nyatanya, kota mempunyai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya, terutama para urbanis. Oleh SDM-nya yang rendah, atau tak ada relasi, atau situasi-situasi yang tak baik, sebagian urbanis tidak beruntung. Para urbanis yang kebetulan tidak beruntung tapi tak ingin kembali ke desa itu, bisa terlempar ke bidang-bidang yang digolongkan penyakit sosial tersebut. Bahkan ada yang sesungguhnya beruntung, terpengaruh oleh lingkungan, sengaja menceburkan diri di dalamnya. Alhasil, penyakit-penyakit sosial perkotaan itu semakin sulit tersembuhkan, seiring dengan urbanisasi yang semakin tak terkendali.

- Ekologi. Manusia tidak terpisahkan dari alam. Ada hubungan timbal balik antara alam dan manusia. Alam menjadi media yang tak terelakkan bagi kehidupan manusia, dan pada gilirannya manusia merawat keberlangsungan alam agar tetap bisa menjadi media yang baik bagi hidup manusia. Di kota, terlebih kota besar, harmoni antara alam dan manusia terganggu. Sekedar contoh sederhana, tetumbuhan yang mengubah karbondioksida (yang merupakan limbah pembakaran manusia) menjadi oksigen (yang merupakan bahan bakar untuk manusia) sudah berkurang dan terancam semakin berkurang lagi. Mereka dikalahkan untuk kepentingan pemukiman, bisnis dan transportasi. Akibatnya, udara perkotaan dipenuhi karbondioksida dan menjadi tidak baik untuk kesehatan manusia. Tentu saja untuk sedikit mengatasinya, gagasan pembangunan kota yang ramah lingkungan (kota hijau!) adalah langkah yang baik, meskipun tak mudah. Akan tetapi, bahwa masalah tersebut juga rentetan logis dari urbanisasi juga tak bisa dilupakan.

(Analisis ini bukan anti-kota dan pro-desa, atau memandang kota itu negatif dan desa itu positif! Analisis ini hanya mau menegaskan bahwa urbanisasi yang tak terkendali menimbulkan masalah-masalah serius baik bagi kota maupun desa. Tetap disadari pula bahwa desa-desa pada saatnya –entah berapa abad lagi-- juga akan ber-evolusi menjadi kota, sehingga negara kita akan menjadi negara kota. Dan pada saat itu… kita tidak perlu bicara soal kota dan desa!.

Tanpa mengabaikan bahwa kebebasan manusia untuk bermigrasi ke mana saja, kiranya, dengan merenungkan adanya dampak-dampak negatif urbanisasi yang mengancam kemanusiaan dan lingkungan hidup, menyikapi gejala urbanisasi yang tak terkendali secara arif sangat diperlukan. Urbanisasi memang amat diperlukan oleh perkotaan untuk mengisi kekurangan jasa tenaga dan pikiran. Ini adalah hal yang sehat dan sangat bisa dipahami. Akan tetapi, bila urbanisasi menjadi tidak terkendali, kehidupan sosial baik di desa maupun di kota terganggu.

Maka dari itu, mengendalikan laju urbanisasi sesuai dengan kebutuhan kota merupakan salah satu cara untuk memelihara dan juga memperbaiki kehidupan sosial. Pemerintah memang sudah lama melihat bahaya urbanisasi tak terkendali ini. Maka, gagasan untuk mengendalikan urbanisasi, dan bahkan membuat de-urbanisasi bukanlah barang baru. Tetapi pada kenyataannya, betapapun pemerintah ataupun juga pihak-pihak lainnya meluncurkan jurus-jurus untuk mengendalikan urbanisasi, rasa-rasanya urbanisasi berlangsung terus. Alih-alih terkendali, sebaliknya urbanisasi semakin tak terkendali dan efek sampingnya semakin membelit.

Kita memang bisa mempertanyakan efektivitas jurus-jurus pemerintah untuk mengendalikan urbanisasi. Pun pula kita bisa menyimpulkan urbanisasi bersifat alamiah, maka dengan cara apapun tak bisa dikendalikan, dan akhirnya kita harus ikhlas untuk menonton dan bahkan merasakan sendiri efek sampingnya. Ini adalah soal perut. Jika di desa perut tetap lapar, maka sah-sah saja orang mencari sesuatu untuk mengisi perut di perkotaan.

Benarkah urbanisasi tak bisa dan tidak perlu dikendalikan??? Dengan melihat ancaman kemanusiaan yang lahir dari urbanisasi tak terkendali, kita harus mempunyai keyakinan bahwa sangat perlu untuk dikendalikan, bahkan kalau mungkin juga sampai pada tahap ruralisasi. Tentang bisa atau tidaknya, usaha dan waktulah yang menjawab. Lagi pula, memang rasanya, kita memang tidak mungkin mengendalikan urbanisasi sampai ke batas normal demi terciptanya kehidupan sosial yang baik untuk perkotaan ataupun untuk pedesaan. Paling tidak, arus urbanisasi terkurangi.

Mungkin kita berkecil hati, kalau pemerintah dan beberapa pihak lain dari dahulu telah membuat program untuk tidak berubanisasi, tidak berhasil, apa lagi kita sekarang ini? Tidak sia-siakah energi kita? Sudahlah itu memang hal yang tak terpecahkan! Masih banyak pekerjaan lainnya yang lebih perlu kita tanggapi!

Tapi marilah hening sejenak! … Kita, oleh rasa keagamaan dan sosialitas, dipanggil untuk menanggapi tanda-tanda zaman yang senantiasa berubah-ubah dan mengancam kehidupan sosial. Kecemasan masyarakat kota akan masalah-masalah sosialnya (pemukiman sulit, kemacetan lalu lintas, kemiskinan, gelandangan, pengemis, premanisme, prostitusi, banjir dll.) dan sekaligus kecemasan masyarakat desa akan masalah-masalah sosialnya (pertanian tak memberi untung, jauh dari fasilitas hidup yang membuat nyaman, kemiskinan, kebodohan, keminderan, dll), yang salah satunya merupakan dampak negatif urbanisasi tak terkendali, merupakan salah satu tanda zaman kita dewasa ini. Dalam kecemasan masyarakat kota dan desa, kita terpanggil untuk terlibat di dalam kecemasan itu dan berjuang untuk keluar dari kecemasan itu..

Marilah kita juga sejenak berpikir tentang upaya pemerintah selama ini untuk menghambat urbanisasi! Memang menggembirakan bahwa pemerintah –sebagai pelayan masyarakat-- mempunyai keprihatinan yang mendalam terhadap urbanisasi tak terkendali yang berdampak negatif, dan berusaha untuk mengendalikannya. Yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut: pertama, pembangunan desa yang diluncurkan pemerintah untuk membuat orang betah di desa apakah memang sudah terjadi, dan bila sudah terjadi apakah sungguh menyentuh kehidupan masyarakat desa? Kedua, selama ini yang merasa dirugikan hanyalah pemerintah kota, sehingga yang berseru lantang menentang urbanisasi hanyalah mereka. Sedangkan pemerintah yang membawahkan desa tenang-tenang saja. Sekurang-kurangnya program pengendalian urbanisasi di desa-desa, tak terdengar. Ketiga, sebagian agen pemerintah yang menyerukan untuk mengendalikan urbanisasi adalah juga kaum urbanis yang sudah sukses di kota. Secara psikologis, ini menjadi beban tersendiri dan upaya de-urbanisasi menjadi terhambat. Keempat, upaya untuk mengubah pandangan manusia --dalam ini berkaitan dengan dampak negatif urbanisasi—untuk keberhasilannya membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Kelima, pemerintah “tidak bisa” memberi contoh bagaimana tetap tinggal di desa dan mengembangkannya sehingga tidak perlu berurbanisasi. Ini memang juga sulit. Bagaimana mungkin mereka memaksa orang lain untuk bertahan di desa atau kembali ke desa, sedangkan “dirinya sendiri” tinggal bahagia di kota? Pada hal keteladanan diyakini banyak orang menjadi cara yang efektif untuk menggerakkan orang, meski tidak selalu.

Kiranya hal yang kelima amat penting, yakni soal keteladanan: menjadi betah fisik dan psikis tinggal di desa. Tentu saja, agar sasaran pembangunan dan pengembangan desa tercapai, kita harus mempunyai strategi yang tepat dengan menyesuaikan dengan keadaan setempat. Tak disangkal bahwa pedesaan hampir tidak lepas dari pertanian. Maka, pertanian bisa menjadi salah satu sarana bagi pembangunan desa.

Permasalahannya, pertanian sebagai mata pencaharian pokok masyakat pedesaan tidak diminati lagi, terutama oleh sebagian besar kaum mudanya. Selain berlakunya trend merantau ke kota dan “yang penting tidak menjadi petani”, nyatanya kondisi usaha pertanian tidak begitu saja menguntungkan. Salah satu sebab pertanian tidak menguntungkan, seperti yang sudah kita kenal, adalah budaya pertanian yang mengejar hasil, namun tidak berhasil. Para petani mengeluh karena biaya pupuk dan obat-obatan kimia semakin mencekik sedangkan hasilnya tidak bisa menutupnya. Selain itu, kecenderungan para petani untuk menanam varietas tanaman yang sama dalam jumlah besar, sehingga masa panen bersamaan, dan seturut hukum pasar, harga pun menjadi rendah.

Maka, pintu masuk dalam usaha pertanian adalah menawarkan budaya pertanian yang ramah biaya sekaligus ramah lingkungan. Saat ini, biaya yang paling besar untuk pertanian mereka adalah pupuk kimia dan obat kimia. Dengan pertanian ramah lingkungan dan biaya, kita menunjukkan bahwa kita bisa memangkas biaya pupuk dan obat kimia. Biaya yang dikeluarkan hanyalah untuk pupuk alami (kandang, daun) dan pemeliharaan.

Kemudian, menghadapi kecenderungan untuk mengusahakan tanaman yang sama, ditawarkan untuk mulai melirik jenis tanaman yang belum dominan, mudah tumbuh sehat, tahan hama, dan mempunyai nilai jual. Dengan demikian, harga pasar akan tetap terjaga dan hasil akan menguntungkan.

Mendukung secara konkret untuk memelihara ternak yang menghasilkan pupuk kandang juga bisa menjadi strategi mengubah pertanian ke arah yang lebih ramah lingkungan.

Dua hal pertama pemecahan kebuntuan usaha pertanian itu, mudah untuk kita tawarkan, namun tidak mudah untuk diterima oleh para petani. Mengapa tidak mudah untuk diterima oleh mereka? Pertama, sepertinya mustahil bagi mereka untuk bertani tanpa menggunakan pupuk dan obat kimia. Pupuk dan obat kimia sudah menjadi keharusan bagi mereka. Ditawarkan model tanpa itu, mereka hanya tertawa tak meyakini manfaatnya. Kedua, berhadapan dengan tawaran untuk beralih ke varietas yang tidak dominan namun juga menghasilkan, mereka takut kalau tidak bisa panen seperti yang lain. Pokoknya, tanamannya harus sama dengan yang lainnya. Titik! Kalau banyak yang lain memanam cabe, maka mereka semua akan menanam cabe. Teori hukum pasar, meski berlaku bagi mereka, namun tak mereka akui, atau lebih tepatnya, tak mereka pahami. Ketiga, kita tidak menggunakan modal besar yang bisa dijadikan sarana untuk menggalang dan mengatur para petani untuk mengikuti cara kita. Modal besar kalau tidak sangat cermat bisa saja memikul konsekuensi tak produktif, entah bagi kita ataupun bagi para petani sendiri. Modal besar, tentunya harus diadakan dan kalau kita tidak punya tentunya harus meminta pihak lain. Tentunya bukan berati kita tabu untuk meminta, tetapi baiklah kita berusaha untuk mandiri lebih dahulu. Bila kita langsung mengelola modal besar pada hal bukan dari jerih payah kita sendiri, secara psikologis bisa menghambat kita untuk kerja keras kita sendiri. Kemudian bagi para petani, bukan tidak mungkin bahwa mereka mengikuti cara kita bukan dari kesadaran akan manfaat pertanian organik, namun lebih tertarik oleh kucuran modal. Sekali lagi, bukannya kita harus anti modal besar dari pihak lain dan pelit untuk berbagi modal pada petani, melainkan bahaya modal besar, juga besar!

Strategi yang rasanya efektif untuk menggeser budaya pertanian tersebut adalah dimulai dari kita sendiri. Tanpa jemu menekankan perlu dan manfaat pertanian ramah lingkungan, kita harus bekerja keras untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa model pertanian yang kita tawarkan itu bukan omong kosong. Sejauh kita belum bisa membuktikan bahwa bisa hidup lebih baik dengan menerapkan pertanian organik, lalu mereka belum mau menerapkannya, ya masuk akal saja. Kita tidak bisa kecewa dan menyalahkan mereka. Dengan demikian, kita sungguh ditantang untuk bekerja sekeras mungkin dengan keadaan modal seperti para petani pada umumnya, untuk menunjukkan: “ini… lebih baik dan menguntungkan!”. Kalau itu terjadi, tanpa kita ajak pun orang akan ikut menerapkannya

Tentu saja, gagasan itu untuk menjadi kenyataan membutuhkan proses waktu dan perjuangan yang panjangnya tidak bisa dipastikan. Panjang-pendeknya amatlah tergantung pada lemah-kerasnya perjuangan kita, keterbukaan masyarakat desa dan kondisi-kondisi yang menguntungkan atau tidak.”

Bapak Bupati, begitulah permenungan saya berkaitan dengan kehidupan sosial pedesaan. Apakah yang saya inginkan dari Bapak? Tentu saja, seperti yang sudah saya ungkapkan, bukan bantuan uang ataupun barang. Terus terang saja, BLT kompensasi BBM kemarin ternyata malah berdampak negatif, pada para penerima ataupun bukan penerima di desa tempat saya tinggal. Yang saya inginkan juga bukan niat dan tindakan Bapak untuk tinggal dan berjuang di desa. Saya sangat sadar bahwa Bapak adalah pemimpin seluruh rakyat Kabupaten Cianjur (pedesaan dan perkotaan) dan tanggung jawab Anda amat besar. Maka yang saya inginkan dari Bapak adalah kebijakan-kebijakan sosial-ekonomi yang secara konkret dan tegas meminimalisasi jurang perbedaan antara pembangunan kota dan desa, antara orang kaya dan miskin. Untuk Bapak ketahui saja, kekayaan orang paling kaya Indonesia, kalau dihitung-hitung…. setara dengan kepemilikan ratusan ribu rakyat pedesaan Cianjur Selatan.

Bapak Bupati yang terhormat, terimakasih saya haturkan karena Bapak sudi membaca permenungan saya ini. Dan sekali lagi, saya memohon maaf atas kenekadan saya.

Salam dan Hormat,

Antonius Anton Padmono

Desa dan Masalah Sosial Perkotaan

Desa dan Masalah Sosial Perkotaan

Slamet adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang terletak di salah satu tempat di Jakarta. Ia berasal dari desa. Sebagai seorang perantau, ia bisa dikatakan sudah agak mapan. Ia bisa menyewa sebuah rumah. Pun pula ia bisa menyisihkan sebagian pendapatannya untuk dikirimkan ke desa. Bahkan, pada waktu banyak karyawan di-PHK karena tuntutan ekonomi pasar, ia masih bisa bernafas lega. Ia tidak terkena PHK. Meskipun demikian, ia sendiri memahami dirinya belum sukses. Cita-citanya untuk hidup berkecukupan, dirasanya belum tercapai.

Slamet “dipaksa” oleh situasi untuk mencari penghidupan di kota. Orang tuanya, yang adalah petani, tidak bisa “membuktikan” pada dirinya, bahwa pertanian menjanjikan perbaikan hidup secara cepat dan nikmat. Memang, rumah orang tuanya yang dahulu berdinding anyaman bambu perlahan-lahan bisa menjadi berdinding tembok. Akan tetapi, itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ia berpikir, bila ia merantau ke kota, pasti akan lain. Hal itu ia buktikan sesudah di kota beberapa waktu. Ia bisa mengirim ke orang tuanya di desa berbagai perlengkapan rumah tangga, yang baginya amat sulit diadakan jika ia masih menjadi petani di situ.

Itulah sepenggal nukilan fiktif orang desa yang merantau ke kota. Kisah senada, kemungkinan besar teralami oleh para perantau dari desa yang berada di Jakarta (dan kota lainnya), dengan perbedaan di sana-sini. Akan tetapi, upaya untuk memperbaiki hidup (ekonomi) kiranya menjadi benang merah dari kisah-kisah itu.

Slamet (dan para perantau lain) hanyalah korban dari sebuah kepincangan kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Selama ini, pembangunan yang menunjang perekonomian lebih digencarkan di perkotaan. Tak ayal lagi, orang-orang desa menoleh ke kecermelangan kota. Ia juga sebuah korban dari kebijakan yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik dari pada mental. Ia juga korban dari pandangan salah bahwa (orang) kota lebih bergengsi dari pada (orang) desa. Ia juga hanyalah korban dari pandangan salah bahwa tani adalah pekerjaan yang kotor. Dan akhirnya, ia hanyalah seorang manusia yang berusaha memaknai hidupnya dengan cara yang menurutnya paling memungkinkan di tengah persaingan hidup yang keras.

Bagaimanapun Slamet adalah kisah sukses orang yang merantau ke kota. Akan tetapi di balik kesuksesannya, ada kisah-kisah menyedihkan. Semua yang berangkat ke Jakarta (kota) merindukan pekerjaan untuk menyambung hidup secara layak. Ternyata Jakarta tidak mampu menjawab kerinduan semua, hanya sebagian saja. Banyak orang (bisa para perantau dan bisa juga penduduk asli), yang entah karena dari SDM-nya kurang, atau karena tak ada relasi personal, atau karena penyebab lain, kalah dalam persaingan untuk memperebutkan pekerjaan terbatas yang ditawarkan Jakarta. Akhirnya dengan terpaksa sekali, mereka menjadi gelandangan, anak jalanan, perampok, pencopet, pemeras, pemalak dan sebagainya yang menjadi pertanda adanya masalah sosial yang serius.

Slamet (pasti) tidak menyadari bahwa kesuksesannya, secara tidak langsung turut memperparah masalah sosial perkotaan. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah menghilangkan kesempatan satu penduduk asli untuk mendapatkan pekerjaan. Ia tidak menyadari bahwa tanah pertanian yang ditinggalkannya, bila diupayakan dengan kerja keras dan ulet, mampu memberikan penghidupan yang layak. Ia tidak menyadari bahwa tani adalah pekerjaan yang juga mulia seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ia tidak menyadari bahwa derajad orang desa sama dengan orang kota. Ia tidak menyadari bahwa dirinya bisa sedikit mengurangi masalah sosial perkotaan yang kian memprihatinkan. Ia tidak mampu menyadari itu semua, karena faktor-faktor eksternal telah mengkondisikannya.

Dewasa ini, Slamet-Slamet yang lain ingin menyusul Slamet yang sudah berhasil. Bila proses urbanisasi ini berjalan terus, tidak ayal lagi, masalah sosial perkotaan dan sekaligus juga masalah sosial pedesaan yang telah demikian besar, akan semakin besar dan rumit. Kurbannya tiada lain adalah saudara-saudara kita sendiri, yakni mereka yang tak mampu bersaing. (Tentu, amat disadari bahwa urbanisasi hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor yang menumbuhkan masalah sosial).

Pemerintah yang salah satu fungsinya menyejahterakan seluruh rakyat, hendaknya membuat kebijakan pembangunan secara seimbang, misalnya: antara yang fisik dengan yang mental, antara perkotaan dan pedesaan. Tentu saja, dalam situasi sosial sekarang yang sudah terlanjur dipenuhi dengan masalah-masalah sosial yang pelik, keseimbangan pembangunan tersebut bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Pun pula tetap disadari, ada banyak juga masalah lain yang harus ditangani. Akan tetapi, bila perimbangan pembangunan tidak dilakukan, bisa diramalkan situasi sosial yang akan kita (dan anak cucu kita) hadapi di masa mendatang.

Rasanya, semua saja dari kita, --yang bukan unsur pemerintah-- tidak bisa cuci tangan dan melemparkan tanggung jawab pada pemerintah begitu saja dalam menyikapi masalah ini. Oleh panggilan manusiawi sebagai makhluk sosial dan kewajiban sebagai warga negara, kita pun hendaknya turut menyikapi masalah sosial secara dewasa dengan cara dan kondisi kita masing-masing. Perlu diingat, mereka yang ada dalam lingkaran masalah-masalah sosial adalah juga saudara-saudara kita.


r

Musik