Minggu, 21 Juli 2013

Kunjungan Sdr Tarjo dari Thailand

sdr. tarjo: bagai biksu dari thailand
Moli, penjaga padepokan
matanya menakutkan
merry kejungkir

gaya merry

terong belanda masak

inilah....

tomat ciguha

tomat ciguha


merry dan sang biksu dari  thailand

pepino terbitan ciguha

pepaya kejungkir

ngala pepino

tomat cherry/ tomat anggur ciguha

tomat kejungkir

sur tukang kayu

jusuph and mary from cianjur!

cabut singkong kejungkir

walah..... singkongnya nggak ada!!!

yeach.... kapan yach?

kacang merah

tanah perhutani


pertanian bermulsa

duh...., moli cuman nonton aja saya nanam jagung!

Jumat, 22 Februari 2013


Siapakah-lagi Yang Masih Mau Menjadi Petani?


Dahulu ketika masih kecil, dan ditanyakan tentang cita-cita, saya menjawab dengan lantang, “saya mau menjadi guru!”  Teman-teman saya pun juga menpunyai cita-cita yang bermacam-macam (karyawan, dokter gigi, polisi., perawat, tentara dll). Dan bila sekarang saya bertanya pada anak-anak desa  tempat saya tinggal, jawabannya pun senada. Dari seluruh cita-cita yang terungkap, tak ada satu pun cita-cita ingin menjadi petani. Mengapakah demikian?


Rupa-rupanya, meskipun bertani itu adalah pekerjaan juga, namun tak pernah dianggap demikian, sekurang-kurangnya oleh anak kecil. Kalau begitu dapat ditarik kesimpulan sementara, menjadi petani adalah pilihan terakhir, ketika tak ada pekerjaan yang lain. Tentu saja, kesimpulan itu hanya benar sebagian. Sebab ada banyak orang memilih menjadi petani meskipun punya kemampuan untuk pekerjaan non-tani, bahkan menjadikannya sebagai bentuk perjuangan,   

Berbicara tentang petani/bertani, menurut hemat saya ada hal yang memprihatinkan di dunia pertanian kita, sekurang-kurangnya di sekitar tempat saya tinggal. Hampir sebagian besar yang bertani adalah orang tua. Yang muda, sebagian besar merantau ke kota (Jakarta), dan yang tinggal di desa pun enggan untuk bertani, betapa pun hanya untuk membantu orang tuanya. Para pemuda itu berpendapat bertani tidak langsung menghasilkan uang. Lain halnya kalau merantau ke Jakarta, dengan menjadi pekerja harian atau tukang ojek, misalnya. Kalau situasi ini berlangung terus, dan generasi tua sudah tidak ada, siapakah lagi yang menjadi pertani, –petani yang sebenarnya?

Itu hal pertama yang memprihatinkan, dan rasanya berkaitan erat dengan keprihatinan kedua, yakni beralihnya kepemilikan tanah-tanah pedesaan menjadi milik orang kota (kaum bermodal). Tentu saja proses peralihan itu sah dan titik persoalannya bukan itu. Yang menjadi persoalan adalah sebagian orang desa tak punya lahan lagi untuk bertani! Seperti gayung bersambut, orang kota lalu menanamkan modalnya dalam pertanian, dan orang-orang desa menjadi buruhnya. Dan hal ini menyenangkan orang desa, karena mendapatkan upah rutin (kayak pegawai, euy!). Namun pertanyaannya sejauhmanakah upah itu bisa menyejahterakan keluarganya, terlebih pendidikan anak-anaknya? Bila ini berlanjut, bisa saja pertanian menjadi sebuah industri, maksudnya hanya para pemodal saja yang bisa melakukan, dan sebagian besar orang desa menjadi buruh (di bekas tanahnya sendiri).


Apakah menjadi petani memang begitu mengenaskan sehingga dihindari oleh orang muda? Jawabannya, tidak! Menjadi petani dalam arti tertentu malah menjadi orang merdeka, bahagia dan tenteram. Tentu saja jawaban itu amat subyektif, amat tergantung dari pola pikir dan situasi masing-masing orang. Tetapi yang jelas, kini pertanian tidak diminati oleh orang muda, lantas bagaimanakah ke depannya?
Marilah Kita Menjadi Kaya!



Bosan! Bosan! Bosan menjadi orang miskin! Orang miskin nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Mau ini, mau itu… serba susah. Apa lagi kalau melihat kekayaan yang dinikmati sebagian orang, tercetuk kata tanya dalam hati, mengapa dia bisa begini dan saya tidak?


Kemiskinan yang saya nyatakan di sini adalah kemiskinan ekonomi. Mengapa saya miskin? Bila dipikir, sekurang-kurangnya ada dua hal yang membuat begitu, yakni bisa karena peruntungan kelahiran dan bisa juga karena kepasifan hidup.

Yang dimaksud dengan peruntungan kelahiran adalah berikut ini. Kita tidak bisa memilih tempat kelahiran kita! Lahir di keluarga kaya atau miskin, kita tak bisa menentukannya. Hal itu merupakan peruntungan, atau dalam istilah yang umum, takdir atau nasib. Jadi, mengapa seseorang orang itu miskin, disebabkan karena memang dari lahirnya demikian. Sejak membuka mata di dunia ia sudah langsung melihat dan mengalami kemiskinan. Apakah begitu kejamnya takdir kemiskinan karena peruntungan kelahiran ini?  Sehingga orang pasrah begitu saja? Tidak. Takdir kemiskinan masih bisa berubah tergantung pada situasi dan kreativitas yang bersangkutan.


Hal itu amat berkaitan dengan perihal kedua, yakni kepasifan hidup. Ini bisa mengakibatkan orang menjadi miskin atau tetap miskin. Menjadi miskin apa bila ia beruntung terlahir dalam situasi kaya, namun tak bisa mengembangkannya, sehingga jatuhlah dalam kemiskinan. Tetap miskin atau bahkan semakin miskin karena ia tidak pernah bangkit dari kemiskinannya (barangkali berkubang dalam lingkaran kemiskinan! Bagaimana keluar dari kemiskinan bila susah bergerak?).


Apapun penyebab kemiskinannya, orang hendaknya bangkit darinya pertama-tama oleh usahanya sendiri, dan tentu juga tetap terbuka pada  campur tangan proporsional pihak luar. Hal ini mau menegaskan bahwa situasi kemiskinan bukanlah sesuatu yang baku dan tidak bisa berubah sama sekali. Ini telah terbukti dengan banyaknya orang sukses menjadi kaya dengan latar belakang kemiskinan sebelumnya. Sayang sekali, masih lebih banyak orang yang tetap terbelenggu dalam kemiskinannya!


Belajar dari orang sukses dengan latar belakang kemiskinan tentu amat berguna, dan memotivasi orang untuk tidak pasrah dalam keadaannya, melainkan harus bangkit dari kemskinannya. Tentu saja, orang harus berani mengambil keputusan-keputusan  yang mungkin tidak biasa –tapi baik secara moral—untuk mengubah pola pikir dan pola hidupnya. Dalam kehidupan ada terdapat banyak lapangan usaha untuk menjadi sukses secara ekonomi, misalnya pertanian, perdagangan, peternakan dll. Orang bisa memilih salah satunya. Tentu saja sebuah proses harus dihargai dalam pelakanaan pilihan itu.

Ah, barangkali orang bilang, untuk apa menjadi kaya secara ekonomi (banyak uang dan harta), kalau saya sudah bahagia? Ups, nanti dulu! Harus disadari bahwa ekonomi merupakan hal utama dalam kehidupan. Harus disadari pula bahwa karena kebutuhan ekonomi terjadi banyak penyelewengan hidup. Dan lihatlah, ekonomi (baca:kekayaan) bisa menyetir kebijakan-kebijakan publik (sayangnya, kebijakan publik yang hanya menguntungkan sedikit pihak). Pokoknya dengan kekayaan kita bisa berbuat banyak hal  (dan hendaknya hal yang baik-baik saja). Maka, marilah kita menjadi kaya! Kekayaan bukanlah hal negatif. Tergantung dari bagaimana cara kita mendapatkan dan menggunakannya. Marilah kita mencari kekayaan secara baik dan menggunakannya untuk kebaikan pula! Betapa bahagianya kalau kita bisa menggunakan kekayaan yang kita usahakan, untuk membahagiakan orang lain, terlebih orang yang belum bahagia!

Musik